Rabu, 19 Desember 2018

Stop Following Me




Eng ing eng… I’m on the mission.  Yup, hari ini aku sedang dalam misi menyelidiki sesuatu dan aku harus tahu jawabannya hari ini juga.
          Tetapi sebelumnya kenalkan dulu namaku Adri Krisna, perjaka tong-tong dari kota Pati. Bagi yang tidak tahu Pati, kota ini terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah bagian timur, bersebelahan dengan kota ukir Jepara. Tepatnya aku berasal dari kecamatan Juwana. Kota Juwana ini merupakan kecamatan yang menghubungkan Pati dengan kabupaten sebelah, kota penghasil garam Rembang. Kecamatanku merupakan kota terbesar kedua di kabupaten Pati setelah kota Pati, kampung halamanku itu terkenal dengan kerajinan kuningan dan olahan Bandeng.
          Dan sekarang, diusiaku yang ke duapuluhdua tahun, aku sedang merantau di Semarang kota Atlas. Mendengar caraku bercerita seolah sedang mengajar geografi ya? Tepat! Aku memang mahasiswa semester akhir, insyaalloh, di jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial disalah satu Universitas Negeri di Semarang. Dikelasku ada dua orang yang bernama Adri, yakni diriku dan dan satunya lagi Adrian Maulana, tapi bukan Adrian Maulana yang artis itu, kebetulan saja namanya sama. Maka untuk mengidentikkan bahwa yang dimaksud adalah Adri yang ini, aku memakai nama kotaku dibelakang namaku. Aku pun dikenal dengan sebutan Adri Juwana, terutama di nama-nama akun social media.
          Cukup perkenalan singkat tentangku. Nah, sekarang akan kuceritakan misiku hari ini, I’m following, stalking, tapping, recording, analizing, nasi aking, loh, hehe on the conclution lagi jadi Shinichi Kudo nih. Dan targetku adalah “DIA”, siapakan dia? itulah yang coba kucari tahu identitasnya. Cewek itu sangat misterius, harusnya misis-ius ya? bukan mister-ius, kan cewek bukan cowok.
          Harus kuceritakan juga kenapa aku harus menyelidiki cewek satu ini. Diantara kalian ada yang percaya love in the first sight gak? Bukan, ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama. Tapi ini tentang hati, hatiku yang langsung terbawa pergi olehnya dikali pertama aku berjumpa dengannya, di perpustakaan kampus pagi ini. Karena itu sekuat tenaga aku harus berusaha memastikan apakah hatiku berada di tempat yang tepat. Dan kalau ternyata tidak, aku harus bisa merebutnya kembali dan menempatkannya kembali di tempat yang benar. Saaaahh… bahasanya mulai puitis nih.
Kumulai dengan mengikuti jejaknya, berasa seperti anjing pelacak nih.  Tapi aku melacak pakai mata bukan mengandalkan penciuman. Pertama kuikuti dia ketika pertama kali keluar dari kampusnya, langsung kukenali cewek itu dari jauh dengan jilbab biru mudanya. Dia sedang menuju parkiran, deretan di area parkir motor dilewati begitu saja, menuju area parkir disebelahnya, dipencetnya sebuah tombol kecil dari benda yang dipegang di genggaman tangannya. Tak jauh darinya Chevrolet aveo hahctback warna biru metalik menerima respon, sejurus kemudian cewek itu masuk dan melajukan si biru keluar gerbang fakultas sastra.
Kusetarter jagoan merahku, mengikuti si biru yang melaju kearah jalanan kota. Tidak sebut merek ah, entar dikira produk sponsor, mana gak dibayar lagi, lah tadi sebelumnya apaan? Bukannya sebut merk juga? Gimana sih tidak konsisten!, ya sudahlah!. Singkat cerita, ternyata sibiru metalik berhenti dipelataran parkir sebuah coffee shop “Blue Café”, cewek berjilbab biru itu turun dari si biru metalik menuju café biru dan memilih duduk di deretan kursi biru disalah satu sisi café yang berdekatan dengan kaca yang juga bernuansa biru. Nah loh kenapa jadi serba biru begini, mana sayup-sayup dari dalam café  terdengar alunan lagu “Malam Biru”nya Sandhi Sondoro, komplit sudah serba birunya, ditambah hatiku yang juga membiru.
Kuparkirkan juga si bebek merahku diparkiran café yang sama, akupun masuk dan mengambil tempat duduk jauh di sudut café  ditempat yang tidak terlalu mencolok perhatian dari posisi duduk si jilbab biru. Kuambil majalah dari etalase tak jauh dari tempatku duduk. Seorang waiter datang menghampiri dan menyodorkan booklet menu kehadapanku. Karena ini coffee shop, maka banyak sekali ragam kopi yang ditawarkan dalam daftar menu dihadapanku. Aku bukan penggemar kopi jadi aku pilih saja yang ringan, cappuccino latte  dengan topping karamel dan onions rings jadi pilihanku. Setelah waiter meninggalkan mejaku kembali mataku mengamati meja di pinggir kaca café, si jilbab biru sedang menikmati cangkir kopinya ditemani french fries di piring cemilannya. Sambil menyentuh-nyentuh screen enam inch phablet warna pink di tangannya, kok bukan biru? Tidak harus biru juga kan? Tidak harus dibahas juga kan?.
Dari tempatku duduk aku tak bisa melihat apa yang sedang cewek itu lakukan dismartphone-phabletnya, kayaknya harus menggunakan teleskop nih. Karena tak bisa melihat jelas, sejenak kemudian kuputarkan pandangan mataku ke seputar ruangan café, di tengah ruangan ada meja racik kopi dan di sana dua orang barista sedang melakukan keahliannya meracik minuman kopi. Tak lama kemudian waiter kembali mendatangi mejaku untuk mengantarkan pesananku. Cangkir warna biru berisi cappuccino latte yang diletakkan diatas mejaku itu diatas buihnya ada pasta karamel membentuk hati, mengingatkanku kembali akan misi yang sedang kulakukan. Maka sontak mataku kembali melihat ke arah cewek itu.
Sepertinya dia sedang ingin berlama-lama di café ini, atau…? Tiba-tiba terlintas di pikiranku kalau dia sedang menunggu seseorang? Ya, betul sepertinya cewek itu sedang janjian ketemu dengan orang lain di café ini. Tapi siapa ya? Akupun mereka-reka semua kemungkinan di otakku, cowoknya? Ah gak mungkin masa cewek berjilbab rapi seperti itu punya cowok, temannya? Atau keluarganya? Ah, gak tahu ah…
Bel di pintu café  berdenting kala terbuka, dan seorang perempuan paruh baya memasuki ruangan. Haruskah kugambarkan bagaimana rupa perempuan itu? aku berpikir adakah relevansinya perempuan itu dengan misiku? Ya pokoknya walau tak muda lagi tetapi perempuan yang tengah duduk di hadapan jilbab biru itu masih meninggalkan gurat-gurat cantik masa mudanya. Aku tidak melihat kemiripan wajah dengan si jilbab biru, jadi kusimpulkan saja tidak ada hubungan darah antara keduanya.
Si jilbab biru memanggil waiter dan menawarkan pesanan kepada tamunya. Aku sempat berpikir sepertinya café ini bukan tempat pertemuan yang lazim untuk dua orang yang sedang kuamati itu. Ya, karena tempat ini identik dengan tempat kongkownya anak muda gaul, dan itu sama sekali tidak cocok dengan profil dua perempuan yang tengah keperhatikan itu. Kecuali mereka memang penggemar berat kopi atau mereka adalah pemilik atau manajemen dari café ini. Ah, haruskah aku menemukan jawaban dari pertanyaanku itu, kembali kutanyakan relevansinya dengan misiku. Apakah itu berkaitan dan berpengaruh langsung pada hatiku yang tengah kuperjuangkan? Only God knows, halah ujung-ujungnya gitu, bukannya harus begitu?.
Tapi memang seringkali seperti itu, kita terkadang susah menemukan jawaban dari pertanyaan yang bukan kita pembuat pertanyaannya. Jadi kalau ingin selalu menjawab benar untuk setiap pertanyaan, buatlah pertanyaanmu sendiri. Tetapi kalau menjawab pertanyaan yang dibuat oleh orang lain ada kemungkinan kita salah menjawabnya, meski ada juga kemungkinan kita benar menjawabnya. Kok jadi membicarakan tanya-jawab sih, seperti dah jadi guru saja yang salah satu tupoksinya membuat pertanyaan sekaligus membuat jawaban dari pertanyaan tersebut. Hehe, Insyaalloh kalau tahun ini lulus kuliah, siap deh jadi guru geografi.
Kembali ke misiku, setelah membicarakan sesuatu yang menurut dugaanku masalah yang penting, keduanya sepertinya sudah mencapai kesepakatan yang aku tidak tahu membicarakan apa dan menyepakati apa. Wah selain kurang teleskop kayaknya harus bawa penyadap suara juga nih. Lantas keduanya berdiri, saling bersalaman dan cipika-cipiki, lantas perempuan paruh baya itu pun pergi meninggalkan si jilbab biru sendiri. Namun tak lama kemudian si biru pun memanggil waiter untuk menanyakan bill dan segera bersiap untuk pergi.
Sebuah kode bagiku untuk juga ikut beranjak pergi, kulakukan hal yang sama dengan si jilbab biru, memanggil waiter dan membereskan bill. Aku tetap menjaga jarak tatkala aku kembali mengikuti si jilbab biru, kali ini dia tidak menuju ke si biru metalik di parkiran tetapi berjalan kaki menyusuri trotoar di sepanjang komplek pertokoan di blok ini. Berjalan santai sambil sight-seeing ke etalase-etalase toko sepanjang jalan ini. windows shopping? Itukah yang sedang dilakukannya? Aku terus menebak-nebak dalam pikiranku, sampai aku menyadari sesuatu. Dia memang sengaja berjalan kaki diantara kaca-kaca etalase toko itu, karena kaca-kaca itu bisa memantulkan sesuatu dibelakang si jilbab biru. Ya, dia tahu kalau dia sedang diikuti olehku, tapi aku tidak tahu sejak kapan dia tahu.
Kemudian di taman kecil di ujung blok si jilbab biru menghentikan langkahnya. Membalikkan badan dan memanggilku, setelah aku mendekat dia berkata dengan tegas. “Berhenti mengikutiku!”. Mungkin karena kurang berhati-hati, kunci mobil ditangannya terjatuh, dan tatkala dia membungkuk untuk mengambilnya. Sesuatu yang berbulu keluar dari tas biru yang di bawanya. Setelah mendapatkan kembali kunci mobilnya dia segera berajak pergi meninggalkanku yang terbengong-bengong sendiri. Sekian detik setelah kutersadar segera kupungut sesuatu yang berbulu yang jatuh dari tas cewek itu.
“Cup, cup, cup, Hati-ku sayang… kamu baik-baik saja kan?” kataku sambil memungut hamster putih binatang piaraanku yang pagi tadi di perpustakaan tanpa sengaja meloncat masuk ke tas cewek berjilbab biru yang segera pergi sebelum aku sempat mengambil binatang kesayanganku itu. “Hati-ku sayang, kamu tidak boleh nakal lagi, aku sangat megkhawatirkanmu, tidak boleh masuk sembarangan ke tempat orang lain ya?”. Sekarang kenalkan ini hamster kesayanganku, namanya Rohati, aku biasa memanggilnya Hati.

Sejenak aku terdiam sepertinya aku lupa sesuatu, apa ya? Ya, aku lupa menjelaskan yang sebenarnya kepada cewek berjilbab biru itu, ia pasti telah salah paham karena kuikuti seharian ini. Duh, Sinichi Kudo yang gagal misi. Kalian pasti aneh kenapa harus pakai stalking diam-diam gak  ngomong langsung saja dari awal? aku pun menanyakan pertanyaan yang sama, tapi aku tak pernah menemukan jawabannya. Tapi meski aku tidak tahu jawabannya, setidaknya aku tahu hikmahnya, kalau aku menanyakan langsung dari awal, tidak akan ada cerita pendek ala Sinichi Kudo yang gagal misi ini. Rencananya cerpenku ini akan ku kirimkan ke majalah favoritku. Kan, apa ku bilang selalu ada hal positif dibalik setiap kejadian.

Selasa, 18 Desember 2018

WHAT'S WRONG WITH THIS PICTURE?



Menjelang matahari kembali pulang ke peraduan, sinarnya  melembut dan temaram. Hangatnya yang tak lagi menyengat dan semburatnya menghias cakrawala barat dengan saga. Momentum yang tidak akan pernah diprotes oleh manusia manapun di dunia, yang biasanya selalu mengeluhkan panasnya mentari. Mungkin jaman sekarang, mengeluhkan panasnya cuaca di tengah hari sudah menjadi kebiasaan baru manusia, hatta itu hanya di status media sosialnya. Tak pernah ditemui ada yang mengumpat tentang senja. Yang ada menggores sajak dan kisah dari sang senja. Senja  akan selalu dirindukan seluruh umat manusia di dunia yang membutuhkan rebah untuk sebongkah raga dan istirah untuk sepenggal jiwa.
Disuatu masa di suatu waktu menjelang senja, dua pasang kaki menapaki jalan inspirasi untuk berburu senja. Kumandang Ashar yang baru saja menghilang menjadi pertanda perburuan segera dimulai. Dua pasang mata pemburu menyusur sudut, adakah obyek buruan yang indah dan pantas ditangkap dan diabadikan dalam gambar. Menelisik segala pandang, sepasang pemburu ini menggenggam mantap senjata di tangan. Memantapkan target tujuan, senjatapun didekatkan di pandangan dan “shot!” klik tombol kamera menangkap buruan.
Kaki-kaki para pemburu menapak pematang sawah yang padinya masih hijau menghampar, setelah jepretan kamera mencoba menangkap beberapa sudut gambar. Sepasang pemburu mengambil jeda.
“Kita istirahat dulu di pondok itu” kata si lelaki menunjuk sebuah pondok kecil di tengah sawah.
Sang wanita, menurut saja mengikuti langkah kaki di depannya. Duduk bersebelahan, membicarakan hasil jepretan kamera sore ini.
Seraya duduk dibukanya view gambar pada kamera DSLR yang dipegangnya sang wanita memulai bicara “Panning*)ku kurang sempurna” seraya menyodorkan kamera pada sang lelaki.
“Coba lihat” diterimanya kamera dari si wanita.
“Setelan diafragmanya dan kecepatannya sudah pas kok, mungkin pergerakan kamera dengan obyeknya yang tidak pas, nanti di coba lagi, pulangnya kita lewat jalan raya”.  
Framing**) kamu keren, pohon berbentuk Y itu sempurna membingkai obyek” sang wanita tersenyum, melihat hasil jepretan si lelaki.
“Ya, sangat sempurna, karena obyeknya adalah dirimu”  kedipnya menggoda si wanita. Disambut  rona sipu  si wanita. Kemudian, dilihat-lihat lagi gambar lainnya hasil buruan mereka, dan akhirnya terhenti pada sebuah gambar.
“Ada yang salah dengan potret ini?” gumam  si wanita melanjut bincang.
Dilongoknya gambar yang dimaksud oleh wanitanya. “Itulandscape***), aku mengambilnya saat kita lewat masjid kampus bada Ashar tadi, apanya yang salah?”
“Aku tidak tahu apa, tapi ada sesuatunya yang salah, coba deh kamu lihat lagi."
“Gambar masjid utuh sebagai latar belakang, komposisi langit sepertiganya, aktifitas orang yang lewat di depannya terlihat natural, apanya yang salah?” jelas si lelaki sambil mengejar tanya.
“Entahlah. Kau yang mengambil gambarnya, kau bantu aku tuk menjelaskan dimana letak salahnya. Sebenarnya pesan apa yang ingin kau sampaikan kepada penikmat gambar saat kau menyajikan gambar ini?”
Angin menghembus meniup rambut si lelaki yang mulai memanjang. Sedetik kemudian titik-titik halus turun bersusulan jatuh dari langit yang sebenarnya tidak bisa dikatakan gelap. Kemudian datanglah pelangi. Seandainya saja ada satu lagi kamera lain yang menangkap pemandangan sempurna ini dari arah tenggara yang menangkap gambar ini. Meskipun demikian setidaknya gambar itu sudah terekam baik oleh sepasang manusia itu, terekam dengan kamera hati tersimpan abadi dalam ingatan keduanya. Yang tengah dimabuk asmara, yang tengah memadu cinta. Lihatlah! sebuah sudut gambar yang sempurna, sepasang anak manusia yang tengah duduk berdua di pondok kecil ditengah hamparan padi yang warna hijaunya merata, dengan latar belakang Gunung Slamet yang kokoh dan jelas menjulang dibelakangnya, dilengkapi pelangi yang melengkung di atasnya. Gambar yang sempurna!
Mata lelaki itu menatap lembut wanitanya, yang tengah kebingungan. “Kucoba menguraikannya untukmu, tetapi sebelumnya beri aku petunjuk bagian mana yang tidak kau mengerti sehingga kau merasa ada yang salah dengan potret itu?”
Tak urung, sesudut senyum tersungging juga di bibir si wanita menerima tatap teduh dari pujaan hatinya “Mungkin bagian ini” jari telunjuknya menunjuk ke satu titik gambar.
Dengan sabar si lelaki menanti penjelasan.
Jari sang wanita menunjuk pada sebuah gambar, terlihat di halaman masjid ada sekeluarga yang baru turun dari sebuah mobil, dari jauh model dan logonya seperti family car  dari brand terkenal di Indonesia. Kemungkinan keluarga ini berasal dari luar kota dan yang kebetulan melewati kota ini saat Ashar tiba, mampir ke masjid untuk menunaikan sholat Ashar,  platnya B, jelas bukan dari kota ini.  Keluarga yang lengkap, sebuah keluarga muslim yang lengkap, ada Ayah, Ibu, dan kedua anaknya, seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.
Sebuah gambaran keluarga yang siapapun yang melihatnya akan melihat sebagai potret sebuah keluarga yang ideal dan berbahagia. Si suami terlihat mapan, sukses dan menjabat, dengan penampilannya yang santun dan sholeh. Sang Istri yang berjilbab rapi, sangat cantik, anggun dan berkelas terlihat seperti berasal dari latar belakang keluarga yang terpandang dengan sangat keibuan menggandeng kedua anaknya yang masih kecil-kecil. Mendampingi suami tercinta, menjajari langkahnya. Melihat sang istri, sungguh sangat sempurna, mencoba membandingkan denganku, tentu saja bukan bandingannya, aku kalah telak, kalah cantik, kalah anggun, kalah berkelas, kalah pengaruh, kalah dewasa, kalah keibuan kalah segalanya. Sungguh bodoh lintasan pikiranku  yang mencoba membandingkanku dengan sang istri.
Lelaki bermata teduh masih sabar menunggu penjelasan wanita dihadapannya yang masih mengalur  pada  jalinan angannya sendiri, tak sepatahpun kata keluar dari mulut lelaki itu tuk mendesak jawab, meski rasa penasaran mengusai pikirnya. 
Sementara sang wanita masih mengembara di angannya menyaksi gambar di layar kamera yang dipegangnya. Ada yang salah! ya, aku tahu ada yang salah pikirnya, tapi apa?. Kembali matanya menyelusur semua potret yang dijepret kekasihnya, dan hatinya mulai menganalisa. Ya, itu dia!
Dari gambar-gambar tersebut sang suami terlihat tidak berbahagia, tak satu pun dari beberapa potret yang dijepret oleh  kekasihnya si lelaki bermata teduh, yang menunjukkan ekspresi muka sang suami pada potret terlihat berbahagia bersama dengan istrinya. Dari beberapa hasil jepretan yang tengah dilihatnya, mata sang suami selalu tertuju pada sebuah benda kecil yang tergenggam di tangannya, telepon genggam! Ya itu sebuah telepon genggam. Seakan jiwanya tidak berada di tempat yang sama dengan tubuhnya. Melainkan melayang jauh di suatu tempat yang tak diketahui rimbanya. Kini aku tahu apa yang salah!
“Salah teknik kayaknya sayang” tutur si wanita.
Kening si lelaki berkerut “Maksudmu?”.
“Kekuatan hasil jepretan fotografi yang menggunakan teknik landscape. Seharusnya bercerita tentang komposisi yang proporsional akan obyek yang ingin disajikan. Panorama masjid sore hari misalnya. Kalaupun ada makhluk hidup di dalamnya itu hanya melengkapi suasana panorama masjid yang ingin disuguhkan” berhenti sejenak, disusul sebuah senyum lembut, dipegangnya tangan lelaki kekasihnya.
“Kebetulan kau menangkap gagasan lain dari fotografi, kita mengenalnya sebagai gambar ekspresif,  fotografi yang menangkap perasaan manusia sebagai obyeknya. Bisa jadi sudut pengambilan gambarmu juga yang menyebabkan gambarmu tertangkap berbeda, seperti bukan landscape” berhenti sejenak, melihat ekspresi lelakinya yang sangat sabar dan kemudian melanjutkan kembali penjelasan.
“Fokus dari gambarmu adalah keluarga ini yang ada tepat ditengah pintu masjid, bukan masjidnya, bahkan komposisi langit dan obyek, sedikit kurang pas”
Di acaknya kepala sang wanita, lelaki bermata teduh itu sangat mengenal wanita pendamping hidupnya itu “Tapi bukan  teknikku yang salah kan yang mengganggu pikiranmu?”
Ada yang menggenang disudut mata sang wanita “Ya kau benar bukan itu yang mengganggu pikiranku….” Menghela nafas sejenak  “Karena aku mengenal keluarga ini tapi aku tidak mengerti kenapa harus ada yang terlihat tidak berbahagia padahal apa yang dimiliki mereka jauh diatas yang dimiliki rata-rata orang sedunia, jauh diatas yang dimiliki oleh kita. Ada yang salah dengan gambarnya, atau aku yang salah menerjemahkan gambarnya”
            Warna saga di cakrawala berubah menghitam, titik-titik air langit berubah menderas, sang matahari tepat berada di ufuk barat di titik peraduannya. Sayup di kejauhan terdengar kumandang Adzan Maghrib memanggil para sahaya untuk menghadap sang Tuan. Di tengah derasnya hujan dan mulai menggelapnya alam, sosok lelaki bermata teduh perlahan memudar dan lama-kelamaan menghilang lenyap tak berbekas bahkan satu noktah pun tak tersisa. Meninggalkan sang wanita dalam kebingungan, ternyata teman bicaranya sedari tadi hanyalah teman hayalannya saja,  sosoknya tidak nyata, namun hadir begitu nyata dihadapannya lengkap dengan kepribadian, peran, dan dunia yang mengkonstruknya.
Belum hilang kebingungannya, sang wanita semakin tak mengerti tatkala dilihatnya tangannya mulai transparan dan menjalar ke bagian tubuhnya yang lain. Semakin tipis dan makin menipis hingga hanya menjadi titik-titik. Dia mengalami hal yang sama dengan kekasihnya tadi, dirinya dalam proses menghilang.  Di ujung sadarnya sang wanita menyadari bahwa dirinya pun hanya sebuah hayalan, bagian dari imaginasi sebuah pikiran, dirinya lahir sebagai karakter dalam kisah yang dituliskan oleh penulis begitu nyata lengkap dengan sifat dan dunia yang ditinggalinya. Dirinya lahir dari kata-kata yang dirangkai menjadi kalimat, kemudian disusun menjadi sebuah cerita.
Dan di detik terakhir sebelum wanita itu menghilang, sesimpul senyum termanis tersungging sangat jelas seraya memandangmu yang mulai mengerti. Ya, kamu yang sedang membaca cerpen ini, kamu masih bisa melihat senyum sang wanita dengan jelas. Bahkan saat tatap matanya menatapmu dan kemudian lenyap menghilang. Selamat datang di dunia imaginasi kawan, dimana ketidakmungkinan adalah bukan apa-apa!.
            Sekarang jawablah apa yang salah dari potret ini?!




*)Panning : teknik fotografi untuk memotret obyek yang bergerak, mobil lewat misalnya, hasilnya obyeknya terlihat jelas tetapi backgroundnya blur, caranya dengan menyetel diafragma besar dan kecepatan rendah pada kamera manual kemudian pengambilan gambarnya dengan menggerakkan kamera mengikuti benda yang bergerak.
**)Framing : framing pada fotografi berbeda dengan framing pada teori media massa. Framing adalah teknik fotografi dengan membingkai obyek menggunakan obyek lainnya.
***)Landscape : Teknik fotografi yang memotret banyak obyek dengan komposisi tertentu, salah satu obyeknya menjadi obyek utama.




Sabtu, 15 Desember 2018

Strawberry on the shortcake



Cottage di puncak itu bernuansa modern namun banyak ruang terbuka hijau didalamnya. Sudut-sudutnya ditata sangat artistik, ditambah lagi konsep kebun binatang mini, dimana hewan jinak seperti rusa, kelinci dan angsa dibiarkan bebas melintas di taman-taman. Kolam ikan yang berada hampir disetiap barisan cottage menambah asri suasana dengan gemericik suara airnya.

Bagi seorang penulis situasi seperti di cottage itu sangat menginspirasi dan bagi seorang fotografer sungguh obyek buruan yang berharga untuk diabadikan dalam gambar. Oleh karenanya banyak yang sengaja mendatangi cottage ini hanya untuk sekedar mencari inspirasi. Dan di cottage inilah di sebuah pagi Nada seorang fotografer dan Tama seorang penulis  secara tidak sengaja bertemu disalah satu sudutnya.
Nada sedang menjepret kumpulan rusa yang tengah merumput di padang terbuka hijau tatkala, sebuah suara yang sangat dikenalnya dengan baik menyapanya.
“Pakai teknik apa nih memotretnya?” sapa Tama.
Nada menoleh sebentar dan menjawab asal “Teknik sipil, because I’m civilian”.
Mendengar jawaban asal dari Nada, “Kamu masih emosi ya Nad?, kan aku dah minta maaf” kata Tama.
“Kalau ‘emosi’ itu nama makanan yang lembut, manis, aneka rasa, dingin dan beku, ya, sekarang aku sedang ingin sekali emosi…” Nada menoleh ke suatu arah, “Bang, es krim bang!” didekatinya café cottage tak jauh dari tempatnya memotret, seraya meminta dua buah es krim cone rasa coklat dan satu lagi strawberry.
“Kamu mau ‘emosi’ juga Tam?” tanya Nada sembari menyodorkan es krim rasa coklat ke tangan Tama yang tengah duduk di kursi taman. Nada mengambil tempat disampingnya. Sementara es krim strawberry sudah berkurang dua gigitan karena dimakannya.
Mau tak mau Tama tersenyum, dengan cara Nada menjawab pertanyaannya. Alih-alih mengambil es krim yang di sodorkan kepadanya, Tama malah mengambil es krim di tangan Nada yang sudah hilang toping saus strawberry diatasnya karena sudah dijilat Nada.
“Aku lebih suka yang ini” cuek saja tama langsung memakan es krim strawberry yang sudah dimakan Nada bagian atasnya.
I knew, it’s mean indirect kiss to you right? Just like drink from the same glass, I’d remember that” respon Nada sedikit menggumam, namun dia biarkan saja apa yang dilakukan Tama.
          “Bahasa Indonesia dong, biar aku tidak salah  mengerti” Tama memandang Nada.
          “Jangan minta diterjemahkan, artinya aneh banget” sepertinya Nada asal menjawab lagi.
          “Aneh bagaimana?” Tama tambah penasaran.
          “Artinya, kamu ganteng banget, aneh kan? Pertama, aneh karena tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita, kedua, aneh karena tidak sesuai dengan kenyataannya?” Nada semakin asal menjawab.
          Tama sempat tertawa mendengar jawaban Nada “Sepertinya kamu memang masih marah padaku” Tama mencoba berkesimpulan.
          “Kalau ‘marah’ adalah nama hewan putih, berbulu, lucu, imut, suka meloncat, bermata bening dan bertelinga panjang, ya, aku ingin memotret ‘marah’ untuk kuabadikan dengan kameraku” jawab Nada sambil mengarahkan moncong kameranya kearah sekawan kelinci yang bermunculan dari semak daun diseberang kolam ikan.
          Tak urung Tama kembali tertawa atas jawaban Nada, ringan namun dalam. “Aku tak suka ‘marah’ yang itu, kamu pasti tak percaya dulu waktu aku kecil aku pernah digigit oleh ‘marah’ berbulu putih yang suka meloncat itu” Tama mengikuti gaya Nada.
          “Hahaha…” sekarang ganti Nada yang tertawa.
         Setelah menghabiskan es krim mereka berdua menyusuri, jalan setapak yang ada di cottage tersebut, sambil sesekali Nada menjepretkan kameranya ke beberapa arah.  Tama menjajari langkah Nada. Mereka berdua masih terlibat dalam pembicaraan, atau lebih tepatnya perdebatan.
          “Apa yang sedang kamu tulis?” tanya Nada.
          “Sekarang kamu perduli?” Tama berhenti sejenak, menoleh ke wanita disampingnya yang hanya tersenyum tipis merespon pertanyaannya.
  “Novel” lanjut Tama.
          “Tentang apa?” tanya Nada lagi.
          “Biasa, tidak pernah jauh-jauh dari romance” jawab Tama.
          “Huh, aku selalu merasa aneh. Kamu begitu pintar menuliskan cinta dalam novelmu seakan itu benar-benar nyata dan terjadi. Tapi aku selalu gagal paham menangkap cintamu di dunia nyata” kata Nada.
          “Jadi itukah yang kau rasakan tentangku?” tanya Tama.
          “Ya” jawab Nada singkat.
          “Maaf” kata Tama.
          “Ya” jawab Nada masih singkat.
          Beberapa saat setelah itu keduanya berjalan beriringan dalam diam, hingga di sebuah tikungan Nada menggamit lengan Tama.
          “Tam, bisa lebih sederhana gak dalam menguraikan sesuatu. Terkadang aku tidak terlalu pintar mencerna maksudnya” kata Nada.
          “Maksudmu?” Tama tidak mengerti.
          “Menurutku kamu terlalu rumit untuk dimengerti. Dan sebenarnya aku sama sekali tidak membutuhkan untuk bisa mengerti kamu, aku hanya ingin merasa nyaman berjalan disisimu, itu saja gak pakai ribet” Jelas Nada.
          “Jadi jangan jelaskan apapun yang tidak bisa kucerna, karena aku tidak sepintar kamu. Cukup biarkan aku mengerti kamu dengan caraku” Nada terdengar serius.
          Tak terasa sampailah mereka dideretan kamar cottage yang lokasinya paling ujung.
          “Itu kamarku” tunjuk Tama.
          “You’re kidding me. Kamarku disebelahnya” kata Nada.
          Mereka berdua menuju kamar Tama, Tama memutar anak kunci membuka pintu kamar cottage yang disewanya semalam. Pintu terbuka, ruangan didalamnya cukup lengkap ada tempat tidur dobel, sofa dan meja, mini bar lengkap dengan lemari esnya, dan juga kamar mandi. Tama membuka lemari es dan mengeluarkan dua botol jus jeruk dari dalamnya. Tama juga mengambil roti isi yang ada diatas meja mini bar. Diletakkan di meja sofa tempat Nada tengah duduk sambil membaca lembaran-lembaran print naskah Novel Tama yang diketiknya semalam. Laptop dan chargernya masih tergeletak diatas nakas sebelah tempat tidurnya.
          “Jadi bisa kita baikan lagi? Please? Aku tersiksa kalau tidak bisa melihat senyummu dan mendengar ceritamu. Seperti ada yang diambil dari diriku, tak lengkap lagi rasanya. Bahkan aku kehilangan ide untuk semua tulisanku” Tama mencoba berbaikan.
          “Loh kita kan tidak sedang bertengkar?” jawab Nada.
          “Terus apa dong namanya? Perang dingin?”
          “Gak juga”
          “Terus?”
          “Gak aja”
          “Baiklah, sepertinya kamu sedang tidak ingin membahasnya” kata Tama.
          Nada masih melanjutkan membaca-baca naskah Novel Tama, sambil memakan roti isi yang tersaji di depannya.
          Dan Tama duduk di sofa seberang Nada, dia hanya diam saja sambil memandang Nada tanpa berkedip, Tama memandang Nada penuh makna dan memperhatikan tiap gerak dan ekspresi Nada. Lama tak terdengar suara apapun, Nada baru menyadarinya. 
          “Ngapain lihat-lihat? Naksir?” Nada ketus.
          “Hahaha, gak cuma naksir tapi cinta berat”
          “Gombal” Nada melempar bantal kursi kemuka Tama.
          “Emang” kata Tama
          “Jadi kita baikan” kata Tama lagi sambil menyodorkan jari kelingkingnya yang melengkung mengharap Nada akan menyambutnya.
          “Kan sudah kubilang, kita tidak sedang bertengkar. Kita hanya butuh sedikit waktu untuk menyingkir sebentar, dan intropeksi diri. Hubungan kita sudah benar landasannya. Tuhan kita sudah merestuinya. Sehingga masalah apapun yang kita alami dalam menjalaninya, penyelesaiannya dikembalikan lagi kepada-Nya, sesuai kehendak-Nya, dan berdasarkan aturan-Nya. Termasuk permasalahan kemarin itu, yang anehnya kita menyingkir di tempat yang sama, mana kamarnya sebelahan lagi, sebuah kebetulan yang ditakdirkan. Tak ada yang perlu dimaafkan darimu. Aku juga harus minta maaf kepadamu kalau ada yang tidak berkenan dihatimu, suamiku” jelas Nada memperjelas permasalahan.
          “Bagaimanapun aku laki-laki, aku pemimpinnya. Pemimpinlah yang disalahkan apabila ada yang salah dengan bahtera yang dipimpinnya. Aku tetap minta maaf” kata Tama.
          Nada beranjak dari tempat duduknya dan membuka jilbabnya lantas menggantungnya di kastok dekat kamar mandi, kemudian diambilnya botol jus jeruk yang disuguhkan, Tama, suaminya tadi, Nada meneguknya sampai habis.
          “Judul novelmu apa Tam?”
          “Strawberry on The Shortcake” jawab Tama
          “Save the best for the last philosophy ya?”
          “yup
          “Kenapa gak pakai bahasa Indonesia saja, misalnya ‘Kusimpan Pupuk Terbaik Untuk Bunga Terindah’?”
          “Terlalu panjang”
           “Atau, stroberi diatas kue?”
           “oke, dipertimbangkan”   
          “It’s about me?”’
          Tama tersenyum dan menaikkan kedua bahunya. Dia menyerahkan lembar naskah berisi sebuah notes -tidak semua yang kutulis adalah aku, dan tidak semua yang kau baca adalah kamu-.
          Nada tertawa, hari ini ada satu lagi yang bisa dia mengerti dari Tama suami tercintanya. Pelan-pelan akan kucoba mengerti semua tentangmu Tam, pelan tapi pasti tujuannya. Dan disetiap hal yang kutemukan dalam mengerti tentang kamu, apapun itu, aku selalu merasa semakin bahagia. Batin nada.


Kamis, 13 Desember 2018

DUNIA DALAM PIKIRANKU (Re-Born)



Aku tak tahu apa ini normal, tetapi sudah hampir selama hidupku hal ini kualami, sampai detik ini dan tak tahu akan sampai kapan. Aku tak tahu persis kapan mulainya, hanya ingatan samarku yang membersit tidak begitu jelas kurang lebih hal ini terjadi semenjak aku beranjak remaja. Mungkin itu jugalah salah satu alasannya. Orang bilang usia menjelang remaja ini adalah usia yang labil dalam mencari jati diri. Entahlah aku tak pernah peduli dan sama sekali tidak pernah menjadi pikiranku. Hanya saja akhir-akhir ini sempat terbersit tanya, kenapa tak juga hilang meski kini ku berada di usia matang.
          Aku juga tak tahu apakah ada orang lain yang mengalami hal sepertiku. Tak pernah sejenakpun aku sempat berinisiatif tuk mengkonsultasikannya ke Psikolog, yah, seperti kubilang tadi yang kualami sama sekali bukanlah hal yang mengganggu. Dan tak secuilpun mengusik kewarasanku, aku masih bisa berpikir normal dan logis. Pada akhirnya aku memutuskan untuk menuliskannya saja.
          Semenjak aku menapaki awal usia remajaku, aku merasa ada dunia lain yang hidup dan berkembang dalam pikiranku. Dunia dalam pikiranku sama seperti dunia nyataku. Ada tokoh-tokoh, seting tempat dan waktu persis seperti dunia nyataku. Hanya saja berbeda dalam hal logika, apa yang terjadi di dunia dalam pikiranku secara logis seperti tidak mungkin akan terjadi di dunia nyata.
          Terkadang aku menjadi tokoh utama dalam dunia di dalam pikiranku, kadang juga sosok lain yang asing dan sama sekali tidak pernah ku kenal selama hidupku. Akan tetapi mereka hidup, yah, mereka benar-benar hidup di dunia dalam pikiranku. Mereka menjalani kehidupan normal sebagaimana layaknya kita di dunia nyata. Mereka punya cerita dan kisah yang harus mereka lakoni di dunia dalam pikiranku itu.
          Dan sampai kini dunia dalam pikiranku itu masih ada, orang-orang yang mendiaminya pun masih ada, hidup dan berkembang menjadi semakin banyak. Kompleksitas tempat dan cerita semakin meningkat. Dan aku benar-benar ada untuk menyaksikan itu semua, mencoba berkompromi dengan logikaku, bahwa dunia dalam pikiranku itu benar-benar ada meskipun tidak nyata. Nah loh!
        Seperti yang pernah kusinggung sebelumnya bahwa perbedaan dunia dalam pikiranku dengan dunia nyataku hanya satu, yakni visibility dan posibilitynya, selainnya nyaris sama. Yup! yang terjadi di dunia dalam pikiranku seperti tidak mungkin akan pernah terjadi di dunia nyataku. Tetapi justru disitulah menariknya, karena aku memiliki kontrol atas dunia dalam pikiranku maka aku dapat memploting kisahnya sesuai dengan yang aku inginkan. Meski terkadang aku juga pernah kehilangan kendali atas lakon yang terjadi di dunia dalam pikiranku, sehingga alurnya mengalir diluar kehendakku.
          Imposible sebagai salah satu sifat yang melekat pada dunia di pikiranku inilah yang terkadang membuatku menjadikannya sebagai pelariannku. Untuk beberapa hal yang tidak mungkin di dunia nyataku, maka aku akan membuatnya menjadi mungkin di dunia dalam pikiranku. Ya, hanya sesimple itu! Tokoh yang tak mungkin kuhadirkan dalam dunia nyataku, kuciptakan sosok itu sesuai kehendakku dan kulakonkan sesuai keinginanku di dunia dalam pikiranku. Orang-orang tak mungkin ku sapa dalam dunia nyataku, bisa kuajak bercerita, bercengkerama dan bercanda di dunia dalam pikiranku.
Dan karena semakin lama semakin kusadari bahwa ku tak bisa berlepas dari dunia dalam pikiranku itu, yang kusadari baru akhir-akhir ini. Maka sama sekali aku tak pernah berniat untuk menyingkirkannya dari hidupku. Dunia dalam pikiranku itu sudah kuanggap sebagai bagian dari hidupku, bagian dari diriku, aku seutuhnya.
       Namun, aku juga menyadari bahwa volume pikiranku terlalu kecil untuk menampung sekian banyak kisah dan cerita yang dilakonkan oleh sekian banyak tokoh yang juga menjalani hidupnya di berbagai tempat yang berbeda di dunia dalam pikiranku. Maka, aku memutuskan untuk menuliskannya. Ya, menuliskan semua kisah yang terjadi di dunia dalam pikiranku. Cerita fiksi, itulah salah satu dunia yang mendiami pikiranku. Kamu! Ya KAMU yang sedang membaca tulisanku, jikalau kamu menjadi salah satu orang yang hidup dalam dunia di pikiranku, kamu ingin aku tuliskan seperti apa?


Translate