Deg-degan!
Begitulah yang kurasakan tatkala memasuki ruangan berukuran tujuh kali tujuh
meter dengan tulisan Ruang VII tertempel di pintu masuknya. Bel yang berbunyi
menandakan kami semua harus memulai perang, ya perang! Hari ini kami semua
dipersiapkan untuk berperang.
Teringat
hari-hari sebelumnya, selama kurang lebih sembilan bulan terakhir, aku dan
teman-temanku dipersiapkan untuk perang ini. Dilatih, digembleng, digodok di
kawah candra dimuka, setiap hari hanya berlatih dan berlatih, seakan duapuluh
empat jam sehari tidak cukup untuk melaksanakan semua aktifitas kami.
Seandainya
egoismeku boleh berpendapat, tentu aku akan berontak melawan. Ini sungguh tidak
adil buatku, aku hanyalah manusia biasa yang masih mempunyai keinginan, aku
hanya anak-anak yang baru menginjak umur belasan yang masih ingin bebas
bermain, bercanda, berhibur dan mendapatkan kesenanganku sendiri.
Tetapi
jauh di dalam lubuk hatiku aku mengakui dan menyadari, bahwasannya perang ini
adalah salah satu tahap dari kehidupanku yang mau tak mau harus kulewati, bukan
hanya sekedar untuk kulalui tapi untuk ku takluki dengan kemenangan yang
cemerlang. Agar kelak aku tak malu menatap masa depan.
Beberapa
hari yang lalu mataku tertumbuk pada sebuah tulisan yang langsung mendapatkan
perhatian penuh dariku. Tulisan di dinding sekolahku itu, membuatku tersadar bahwa aku tidak
sendiri, ada jutaan anak di luar sana yang mengalami hal yang serupa denganku. Tulisan
di majalah dinding depan kelasku itu adalah tulisan Anis Faridah, kakak kelasku di SMAIT Al Irsyad yang sudah terlebih
dahulu menghadapi perangnya. Tulisan di dinding itu adalah sebuah puisi dengan judul berharap pada doa.
Berharap pada Doa
Satu jam
nadiku terpaku disini
mengaduh pelan
pada sajak-sajak buram
Apa dayaku
kepalang bimbang
menyesap jawaban
akan barisan di sudut tirai
yang tengah menatap tajam
menentang sorot mungilku
Aku pasrah
dalam dentuman detik
menggebu
seolah menyeret paksa
pelipis sendi
yang mengernyit pahit
Kini
perisaiku tinggal sebelah
kusembunyikan di bawah doa
dan ku harap
doaku kan mampu
menopang sejengkal raga
Tepat!
Setelah segala ikhtiar yang kalau secara ekstrem boleh kudeskripsikan sebagai
mati-matian. Sebenarnya aku punya sebuah harapan besar yang tersimpan dibawah
detik-detik waktu yang terus bergulir. Selain dari lembar-lembar latihan, pembahasan soal dan jam-jam tambahan pelajaran. Yakni doa kami
yang diselip di setiap sholat lima waktu, di setiap sepuluh rokaat yang
menyertainya, di dua rokaat setelah fajar, di sujud-sujud malam kami, di lembar-lembar
halaman al Quran yang kami baca, kami dipaksa, ditargetkan,
dipantau, terus-menerus diingatkan, dicatat dan dilaporkan setiap harinya di
lembar muhasabah. Ya, aku akui kalau tidak dipaksa rasanya sulit diri ini untuk
melaksanakan semua kebaikan itu. Dan juga aku masih punya harapan dari kekuatan doa
orang-orang disekitar kami, ibuku, orang tuaku, guru-guruku, saudara-saudaraku, teman-temanku
dan banyak lagi.
Dan
hari ini adalah hari yang sudah ditentukan. Aku bertemu dengan salah satu
pertempuran dari perang yang harus kujalani. Dengan hati yang sangat berdebar,
aku melangkah masuk ke ruang ujianku. Mencoba menyungging senyum, meski beban
di jiwa begitu besar memberati langkah diri. Seribu bahkan sejuta “jangan-jangan”
berkelebat menggoda diri. Dua orang pengawas dari sekolah lain menyambut kami
dengan senyuman seakan turut mendoakan langkah kami. Tapi adanya mereka malah
semakin melengkapi ketegangan suasana.
Ketika
lembar-lembar itu mulai dibagikan ciut rasanya nyali ini, akankan penaku bisa
memilih pilihan yang benar dan tepat dari semua persoalan yang harus
kuselesaikan. Jika saja pena ini bergerak hanya berdasarkan kehendakku semata,
bisa kupastikan aku tak akan pernah berhasil melewatinya. Memang demikianlah
hukum alam, wilayah kita hanya berusaha dengan usaha yang sebaik-baiknya adapun
wilayah hasil sama sekali bukan kehendak kita yang mengendalikannya. Maka yang
terbaik adalah menyerahkan pergerakan pena-pena kita pada yang Maha Segalanya.
Dan
detik-detik pun berlalu tidak akan pernah terhenti kecuali dihentikan oleh sang
pemilik waktu, di antara detik-detik ini aku terpaku disini menghadapi perangku
sendiri, meski aku tidak sendiri. Pada akhirnya aku tersadar bahwa perangku yang sesungguhnya adalah melawan diri sendiri. Aku murid kelas 6 SD Al Irsyad Al Islamiyyah
01 Purwokerto yang akan menghadapi ujian sekolah dan ujian nasional. Setelah
semua yang aku dan orang-orang sekitarku usahakan. Aku hanya bisa berharap pada
doa, hanya berharap pada doa…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment here