Sabtu, 15 Desember 2018

Strawberry on the shortcake



Cottage di puncak itu bernuansa modern namun banyak ruang terbuka hijau didalamnya. Sudut-sudutnya ditata sangat artistik, ditambah lagi konsep kebun binatang mini, dimana hewan jinak seperti rusa, kelinci dan angsa dibiarkan bebas melintas di taman-taman. Kolam ikan yang berada hampir disetiap barisan cottage menambah asri suasana dengan gemericik suara airnya.

Bagi seorang penulis situasi seperti di cottage itu sangat menginspirasi dan bagi seorang fotografer sungguh obyek buruan yang berharga untuk diabadikan dalam gambar. Oleh karenanya banyak yang sengaja mendatangi cottage ini hanya untuk sekedar mencari inspirasi. Dan di cottage inilah di sebuah pagi Nada seorang fotografer dan Tama seorang penulis  secara tidak sengaja bertemu disalah satu sudutnya.
Nada sedang menjepret kumpulan rusa yang tengah merumput di padang terbuka hijau tatkala, sebuah suara yang sangat dikenalnya dengan baik menyapanya.
“Pakai teknik apa nih memotretnya?” sapa Tama.
Nada menoleh sebentar dan menjawab asal “Teknik sipil, because I’m civilian”.
Mendengar jawaban asal dari Nada, “Kamu masih emosi ya Nad?, kan aku dah minta maaf” kata Tama.
“Kalau ‘emosi’ itu nama makanan yang lembut, manis, aneka rasa, dingin dan beku, ya, sekarang aku sedang ingin sekali emosi…” Nada menoleh ke suatu arah, “Bang, es krim bang!” didekatinya café cottage tak jauh dari tempatnya memotret, seraya meminta dua buah es krim cone rasa coklat dan satu lagi strawberry.
“Kamu mau ‘emosi’ juga Tam?” tanya Nada sembari menyodorkan es krim rasa coklat ke tangan Tama yang tengah duduk di kursi taman. Nada mengambil tempat disampingnya. Sementara es krim strawberry sudah berkurang dua gigitan karena dimakannya.
Mau tak mau Tama tersenyum, dengan cara Nada menjawab pertanyaannya. Alih-alih mengambil es krim yang di sodorkan kepadanya, Tama malah mengambil es krim di tangan Nada yang sudah hilang toping saus strawberry diatasnya karena sudah dijilat Nada.
“Aku lebih suka yang ini” cuek saja tama langsung memakan es krim strawberry yang sudah dimakan Nada bagian atasnya.
I knew, it’s mean indirect kiss to you right? Just like drink from the same glass, I’d remember that” respon Nada sedikit menggumam, namun dia biarkan saja apa yang dilakukan Tama.
          “Bahasa Indonesia dong, biar aku tidak salah  mengerti” Tama memandang Nada.
          “Jangan minta diterjemahkan, artinya aneh banget” sepertinya Nada asal menjawab lagi.
          “Aneh bagaimana?” Tama tambah penasaran.
          “Artinya, kamu ganteng banget, aneh kan? Pertama, aneh karena tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kita, kedua, aneh karena tidak sesuai dengan kenyataannya?” Nada semakin asal menjawab.
          Tama sempat tertawa mendengar jawaban Nada “Sepertinya kamu memang masih marah padaku” Tama mencoba berkesimpulan.
          “Kalau ‘marah’ adalah nama hewan putih, berbulu, lucu, imut, suka meloncat, bermata bening dan bertelinga panjang, ya, aku ingin memotret ‘marah’ untuk kuabadikan dengan kameraku” jawab Nada sambil mengarahkan moncong kameranya kearah sekawan kelinci yang bermunculan dari semak daun diseberang kolam ikan.
          Tak urung Tama kembali tertawa atas jawaban Nada, ringan namun dalam. “Aku tak suka ‘marah’ yang itu, kamu pasti tak percaya dulu waktu aku kecil aku pernah digigit oleh ‘marah’ berbulu putih yang suka meloncat itu” Tama mengikuti gaya Nada.
          “Hahaha…” sekarang ganti Nada yang tertawa.
         Setelah menghabiskan es krim mereka berdua menyusuri, jalan setapak yang ada di cottage tersebut, sambil sesekali Nada menjepretkan kameranya ke beberapa arah.  Tama menjajari langkah Nada. Mereka berdua masih terlibat dalam pembicaraan, atau lebih tepatnya perdebatan.
          “Apa yang sedang kamu tulis?” tanya Nada.
          “Sekarang kamu perduli?” Tama berhenti sejenak, menoleh ke wanita disampingnya yang hanya tersenyum tipis merespon pertanyaannya.
  “Novel” lanjut Tama.
          “Tentang apa?” tanya Nada lagi.
          “Biasa, tidak pernah jauh-jauh dari romance” jawab Tama.
          “Huh, aku selalu merasa aneh. Kamu begitu pintar menuliskan cinta dalam novelmu seakan itu benar-benar nyata dan terjadi. Tapi aku selalu gagal paham menangkap cintamu di dunia nyata” kata Nada.
          “Jadi itukah yang kau rasakan tentangku?” tanya Tama.
          “Ya” jawab Nada singkat.
          “Maaf” kata Tama.
          “Ya” jawab Nada masih singkat.
          Beberapa saat setelah itu keduanya berjalan beriringan dalam diam, hingga di sebuah tikungan Nada menggamit lengan Tama.
          “Tam, bisa lebih sederhana gak dalam menguraikan sesuatu. Terkadang aku tidak terlalu pintar mencerna maksudnya” kata Nada.
          “Maksudmu?” Tama tidak mengerti.
          “Menurutku kamu terlalu rumit untuk dimengerti. Dan sebenarnya aku sama sekali tidak membutuhkan untuk bisa mengerti kamu, aku hanya ingin merasa nyaman berjalan disisimu, itu saja gak pakai ribet” Jelas Nada.
          “Jadi jangan jelaskan apapun yang tidak bisa kucerna, karena aku tidak sepintar kamu. Cukup biarkan aku mengerti kamu dengan caraku” Nada terdengar serius.
          Tak terasa sampailah mereka dideretan kamar cottage yang lokasinya paling ujung.
          “Itu kamarku” tunjuk Tama.
          “You’re kidding me. Kamarku disebelahnya” kata Nada.
          Mereka berdua menuju kamar Tama, Tama memutar anak kunci membuka pintu kamar cottage yang disewanya semalam. Pintu terbuka, ruangan didalamnya cukup lengkap ada tempat tidur dobel, sofa dan meja, mini bar lengkap dengan lemari esnya, dan juga kamar mandi. Tama membuka lemari es dan mengeluarkan dua botol jus jeruk dari dalamnya. Tama juga mengambil roti isi yang ada diatas meja mini bar. Diletakkan di meja sofa tempat Nada tengah duduk sambil membaca lembaran-lembaran print naskah Novel Tama yang diketiknya semalam. Laptop dan chargernya masih tergeletak diatas nakas sebelah tempat tidurnya.
          “Jadi bisa kita baikan lagi? Please? Aku tersiksa kalau tidak bisa melihat senyummu dan mendengar ceritamu. Seperti ada yang diambil dari diriku, tak lengkap lagi rasanya. Bahkan aku kehilangan ide untuk semua tulisanku” Tama mencoba berbaikan.
          “Loh kita kan tidak sedang bertengkar?” jawab Nada.
          “Terus apa dong namanya? Perang dingin?”
          “Gak juga”
          “Terus?”
          “Gak aja”
          “Baiklah, sepertinya kamu sedang tidak ingin membahasnya” kata Tama.
          Nada masih melanjutkan membaca-baca naskah Novel Tama, sambil memakan roti isi yang tersaji di depannya.
          Dan Tama duduk di sofa seberang Nada, dia hanya diam saja sambil memandang Nada tanpa berkedip, Tama memandang Nada penuh makna dan memperhatikan tiap gerak dan ekspresi Nada. Lama tak terdengar suara apapun, Nada baru menyadarinya. 
          “Ngapain lihat-lihat? Naksir?” Nada ketus.
          “Hahaha, gak cuma naksir tapi cinta berat”
          “Gombal” Nada melempar bantal kursi kemuka Tama.
          “Emang” kata Tama
          “Jadi kita baikan” kata Tama lagi sambil menyodorkan jari kelingkingnya yang melengkung mengharap Nada akan menyambutnya.
          “Kan sudah kubilang, kita tidak sedang bertengkar. Kita hanya butuh sedikit waktu untuk menyingkir sebentar, dan intropeksi diri. Hubungan kita sudah benar landasannya. Tuhan kita sudah merestuinya. Sehingga masalah apapun yang kita alami dalam menjalaninya, penyelesaiannya dikembalikan lagi kepada-Nya, sesuai kehendak-Nya, dan berdasarkan aturan-Nya. Termasuk permasalahan kemarin itu, yang anehnya kita menyingkir di tempat yang sama, mana kamarnya sebelahan lagi, sebuah kebetulan yang ditakdirkan. Tak ada yang perlu dimaafkan darimu. Aku juga harus minta maaf kepadamu kalau ada yang tidak berkenan dihatimu, suamiku” jelas Nada memperjelas permasalahan.
          “Bagaimanapun aku laki-laki, aku pemimpinnya. Pemimpinlah yang disalahkan apabila ada yang salah dengan bahtera yang dipimpinnya. Aku tetap minta maaf” kata Tama.
          Nada beranjak dari tempat duduknya dan membuka jilbabnya lantas menggantungnya di kastok dekat kamar mandi, kemudian diambilnya botol jus jeruk yang disuguhkan, Tama, suaminya tadi, Nada meneguknya sampai habis.
          “Judul novelmu apa Tam?”
          “Strawberry on The Shortcake” jawab Tama
          “Save the best for the last philosophy ya?”
          “yup
          “Kenapa gak pakai bahasa Indonesia saja, misalnya ‘Kusimpan Pupuk Terbaik Untuk Bunga Terindah’?”
          “Terlalu panjang”
           “Atau, stroberi diatas kue?”
           “oke, dipertimbangkan”   
          “It’s about me?”’
          Tama tersenyum dan menaikkan kedua bahunya. Dia menyerahkan lembar naskah berisi sebuah notes -tidak semua yang kutulis adalah aku, dan tidak semua yang kau baca adalah kamu-.
          Nada tertawa, hari ini ada satu lagi yang bisa dia mengerti dari Tama suami tercintanya. Pelan-pelan akan kucoba mengerti semua tentangmu Tam, pelan tapi pasti tujuannya. Dan disetiap hal yang kutemukan dalam mengerti tentang kamu, apapun itu, aku selalu merasa semakin bahagia. Batin nada.


Translate