Rabu, 19 Desember 2018

Stop Following Me




Eng ing eng… I’m on the mission.  Yup, hari ini aku sedang dalam misi menyelidiki sesuatu dan aku harus tahu jawabannya hari ini juga.
          Tetapi sebelumnya kenalkan dulu namaku Adri Krisna, perjaka tong-tong dari kota Pati. Bagi yang tidak tahu Pati, kota ini terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah bagian timur, bersebelahan dengan kota ukir Jepara. Tepatnya aku berasal dari kecamatan Juwana. Kota Juwana ini merupakan kecamatan yang menghubungkan Pati dengan kabupaten sebelah, kota penghasil garam Rembang. Kecamatanku merupakan kota terbesar kedua di kabupaten Pati setelah kota Pati, kampung halamanku itu terkenal dengan kerajinan kuningan dan olahan Bandeng.
          Dan sekarang, diusiaku yang ke duapuluhdua tahun, aku sedang merantau di Semarang kota Atlas. Mendengar caraku bercerita seolah sedang mengajar geografi ya? Tepat! Aku memang mahasiswa semester akhir, insyaalloh, di jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial disalah satu Universitas Negeri di Semarang. Dikelasku ada dua orang yang bernama Adri, yakni diriku dan dan satunya lagi Adrian Maulana, tapi bukan Adrian Maulana yang artis itu, kebetulan saja namanya sama. Maka untuk mengidentikkan bahwa yang dimaksud adalah Adri yang ini, aku memakai nama kotaku dibelakang namaku. Aku pun dikenal dengan sebutan Adri Juwana, terutama di nama-nama akun social media.
          Cukup perkenalan singkat tentangku. Nah, sekarang akan kuceritakan misiku hari ini, I’m following, stalking, tapping, recording, analizing, nasi aking, loh, hehe on the conclution lagi jadi Shinichi Kudo nih. Dan targetku adalah “DIA”, siapakan dia? itulah yang coba kucari tahu identitasnya. Cewek itu sangat misterius, harusnya misis-ius ya? bukan mister-ius, kan cewek bukan cowok.
          Harus kuceritakan juga kenapa aku harus menyelidiki cewek satu ini. Diantara kalian ada yang percaya love in the first sight gak? Bukan, ini bukan tentang cinta pada pandangan pertama. Tapi ini tentang hati, hatiku yang langsung terbawa pergi olehnya dikali pertama aku berjumpa dengannya, di perpustakaan kampus pagi ini. Karena itu sekuat tenaga aku harus berusaha memastikan apakah hatiku berada di tempat yang tepat. Dan kalau ternyata tidak, aku harus bisa merebutnya kembali dan menempatkannya kembali di tempat yang benar. Saaaahh… bahasanya mulai puitis nih.
Kumulai dengan mengikuti jejaknya, berasa seperti anjing pelacak nih.  Tapi aku melacak pakai mata bukan mengandalkan penciuman. Pertama kuikuti dia ketika pertama kali keluar dari kampusnya, langsung kukenali cewek itu dari jauh dengan jilbab biru mudanya. Dia sedang menuju parkiran, deretan di area parkir motor dilewati begitu saja, menuju area parkir disebelahnya, dipencetnya sebuah tombol kecil dari benda yang dipegang di genggaman tangannya. Tak jauh darinya Chevrolet aveo hahctback warna biru metalik menerima respon, sejurus kemudian cewek itu masuk dan melajukan si biru keluar gerbang fakultas sastra.
Kusetarter jagoan merahku, mengikuti si biru yang melaju kearah jalanan kota. Tidak sebut merek ah, entar dikira produk sponsor, mana gak dibayar lagi, lah tadi sebelumnya apaan? Bukannya sebut merk juga? Gimana sih tidak konsisten!, ya sudahlah!. Singkat cerita, ternyata sibiru metalik berhenti dipelataran parkir sebuah coffee shop “Blue Café”, cewek berjilbab biru itu turun dari si biru metalik menuju café biru dan memilih duduk di deretan kursi biru disalah satu sisi café yang berdekatan dengan kaca yang juga bernuansa biru. Nah loh kenapa jadi serba biru begini, mana sayup-sayup dari dalam café  terdengar alunan lagu “Malam Biru”nya Sandhi Sondoro, komplit sudah serba birunya, ditambah hatiku yang juga membiru.
Kuparkirkan juga si bebek merahku diparkiran café yang sama, akupun masuk dan mengambil tempat duduk jauh di sudut café  ditempat yang tidak terlalu mencolok perhatian dari posisi duduk si jilbab biru. Kuambil majalah dari etalase tak jauh dari tempatku duduk. Seorang waiter datang menghampiri dan menyodorkan booklet menu kehadapanku. Karena ini coffee shop, maka banyak sekali ragam kopi yang ditawarkan dalam daftar menu dihadapanku. Aku bukan penggemar kopi jadi aku pilih saja yang ringan, cappuccino latte  dengan topping karamel dan onions rings jadi pilihanku. Setelah waiter meninggalkan mejaku kembali mataku mengamati meja di pinggir kaca café, si jilbab biru sedang menikmati cangkir kopinya ditemani french fries di piring cemilannya. Sambil menyentuh-nyentuh screen enam inch phablet warna pink di tangannya, kok bukan biru? Tidak harus biru juga kan? Tidak harus dibahas juga kan?.
Dari tempatku duduk aku tak bisa melihat apa yang sedang cewek itu lakukan dismartphone-phabletnya, kayaknya harus menggunakan teleskop nih. Karena tak bisa melihat jelas, sejenak kemudian kuputarkan pandangan mataku ke seputar ruangan café, di tengah ruangan ada meja racik kopi dan di sana dua orang barista sedang melakukan keahliannya meracik minuman kopi. Tak lama kemudian waiter kembali mendatangi mejaku untuk mengantarkan pesananku. Cangkir warna biru berisi cappuccino latte yang diletakkan diatas mejaku itu diatas buihnya ada pasta karamel membentuk hati, mengingatkanku kembali akan misi yang sedang kulakukan. Maka sontak mataku kembali melihat ke arah cewek itu.
Sepertinya dia sedang ingin berlama-lama di café ini, atau…? Tiba-tiba terlintas di pikiranku kalau dia sedang menunggu seseorang? Ya, betul sepertinya cewek itu sedang janjian ketemu dengan orang lain di café ini. Tapi siapa ya? Akupun mereka-reka semua kemungkinan di otakku, cowoknya? Ah gak mungkin masa cewek berjilbab rapi seperti itu punya cowok, temannya? Atau keluarganya? Ah, gak tahu ah…
Bel di pintu café  berdenting kala terbuka, dan seorang perempuan paruh baya memasuki ruangan. Haruskah kugambarkan bagaimana rupa perempuan itu? aku berpikir adakah relevansinya perempuan itu dengan misiku? Ya pokoknya walau tak muda lagi tetapi perempuan yang tengah duduk di hadapan jilbab biru itu masih meninggalkan gurat-gurat cantik masa mudanya. Aku tidak melihat kemiripan wajah dengan si jilbab biru, jadi kusimpulkan saja tidak ada hubungan darah antara keduanya.
Si jilbab biru memanggil waiter dan menawarkan pesanan kepada tamunya. Aku sempat berpikir sepertinya café ini bukan tempat pertemuan yang lazim untuk dua orang yang sedang kuamati itu. Ya, karena tempat ini identik dengan tempat kongkownya anak muda gaul, dan itu sama sekali tidak cocok dengan profil dua perempuan yang tengah keperhatikan itu. Kecuali mereka memang penggemar berat kopi atau mereka adalah pemilik atau manajemen dari café ini. Ah, haruskah aku menemukan jawaban dari pertanyaanku itu, kembali kutanyakan relevansinya dengan misiku. Apakah itu berkaitan dan berpengaruh langsung pada hatiku yang tengah kuperjuangkan? Only God knows, halah ujung-ujungnya gitu, bukannya harus begitu?.
Tapi memang seringkali seperti itu, kita terkadang susah menemukan jawaban dari pertanyaan yang bukan kita pembuat pertanyaannya. Jadi kalau ingin selalu menjawab benar untuk setiap pertanyaan, buatlah pertanyaanmu sendiri. Tetapi kalau menjawab pertanyaan yang dibuat oleh orang lain ada kemungkinan kita salah menjawabnya, meski ada juga kemungkinan kita benar menjawabnya. Kok jadi membicarakan tanya-jawab sih, seperti dah jadi guru saja yang salah satu tupoksinya membuat pertanyaan sekaligus membuat jawaban dari pertanyaan tersebut. Hehe, Insyaalloh kalau tahun ini lulus kuliah, siap deh jadi guru geografi.
Kembali ke misiku, setelah membicarakan sesuatu yang menurut dugaanku masalah yang penting, keduanya sepertinya sudah mencapai kesepakatan yang aku tidak tahu membicarakan apa dan menyepakati apa. Wah selain kurang teleskop kayaknya harus bawa penyadap suara juga nih. Lantas keduanya berdiri, saling bersalaman dan cipika-cipiki, lantas perempuan paruh baya itu pun pergi meninggalkan si jilbab biru sendiri. Namun tak lama kemudian si biru pun memanggil waiter untuk menanyakan bill dan segera bersiap untuk pergi.
Sebuah kode bagiku untuk juga ikut beranjak pergi, kulakukan hal yang sama dengan si jilbab biru, memanggil waiter dan membereskan bill. Aku tetap menjaga jarak tatkala aku kembali mengikuti si jilbab biru, kali ini dia tidak menuju ke si biru metalik di parkiran tetapi berjalan kaki menyusuri trotoar di sepanjang komplek pertokoan di blok ini. Berjalan santai sambil sight-seeing ke etalase-etalase toko sepanjang jalan ini. windows shopping? Itukah yang sedang dilakukannya? Aku terus menebak-nebak dalam pikiranku, sampai aku menyadari sesuatu. Dia memang sengaja berjalan kaki diantara kaca-kaca etalase toko itu, karena kaca-kaca itu bisa memantulkan sesuatu dibelakang si jilbab biru. Ya, dia tahu kalau dia sedang diikuti olehku, tapi aku tidak tahu sejak kapan dia tahu.
Kemudian di taman kecil di ujung blok si jilbab biru menghentikan langkahnya. Membalikkan badan dan memanggilku, setelah aku mendekat dia berkata dengan tegas. “Berhenti mengikutiku!”. Mungkin karena kurang berhati-hati, kunci mobil ditangannya terjatuh, dan tatkala dia membungkuk untuk mengambilnya. Sesuatu yang berbulu keluar dari tas biru yang di bawanya. Setelah mendapatkan kembali kunci mobilnya dia segera berajak pergi meninggalkanku yang terbengong-bengong sendiri. Sekian detik setelah kutersadar segera kupungut sesuatu yang berbulu yang jatuh dari tas cewek itu.
“Cup, cup, cup, Hati-ku sayang… kamu baik-baik saja kan?” kataku sambil memungut hamster putih binatang piaraanku yang pagi tadi di perpustakaan tanpa sengaja meloncat masuk ke tas cewek berjilbab biru yang segera pergi sebelum aku sempat mengambil binatang kesayanganku itu. “Hati-ku sayang, kamu tidak boleh nakal lagi, aku sangat megkhawatirkanmu, tidak boleh masuk sembarangan ke tempat orang lain ya?”. Sekarang kenalkan ini hamster kesayanganku, namanya Rohati, aku biasa memanggilnya Hati.

Sejenak aku terdiam sepertinya aku lupa sesuatu, apa ya? Ya, aku lupa menjelaskan yang sebenarnya kepada cewek berjilbab biru itu, ia pasti telah salah paham karena kuikuti seharian ini. Duh, Sinichi Kudo yang gagal misi. Kalian pasti aneh kenapa harus pakai stalking diam-diam gak  ngomong langsung saja dari awal? aku pun menanyakan pertanyaan yang sama, tapi aku tak pernah menemukan jawabannya. Tapi meski aku tidak tahu jawabannya, setidaknya aku tahu hikmahnya, kalau aku menanyakan langsung dari awal, tidak akan ada cerita pendek ala Sinichi Kudo yang gagal misi ini. Rencananya cerpenku ini akan ku kirimkan ke majalah favoritku. Kan, apa ku bilang selalu ada hal positif dibalik setiap kejadian.

Translate