Waktu memang tidak bisa di putar
ulang seperti kaset. Tetapi ingatan kita akan waktu dan apa yang sudah kita
lakukan, katakan, bahkan pikirkan, semua yang dijalani didalam waktu bisa kita
ingat kembali. Ingatan itulah yang bisa di rewind. Entah kenapa hari ini
ingatanku melayang kembali kesebuah waktu yang aku tidak ingat kapan itu, hanya
ingat momennya dan apa yang kukatakan pada waktu itu.
Saat
itu Senin pagi, kalau tidak salah awal semester dua, sekitar bulan Januari, jam
digital di dinding gerbang sekolah menunjukkan pukul 06.55. Ustadz Jusup
Sutjahjo atasanku, menghampiriku “Afwan Ustadzah, anti bisa menjadi pembina
upacara untuk hari ini? Jadwalnya belum dibuat”. Entah kenapa jawaban spontan
yang keluar dari mulutku adalah “Siap Ustadz”. Wow, tunggu dulu Lia, tidak bisa
main siap saja, menjadi Pembina upacara berarti harus memberikan tausiyah
sebagai amanat Pembina upacara, mau ngomong apa? Apa yang bisa disiapkan dalam
lima menit? Tuing! Tiba-tiba ada lampu terang menyala di atas kepalaku. Aku
tahu apa yang harus kusampaikan di depan murid-muridku nanti.
Ikatlah
ilmu dengan kitab (yaitu: dengan menulisnya), hadits sahih tersebutlah yang
menjadi solusi “mendadak” dari situasi yang kuhadapi. Aku memang tidak
menyiapkan materi apapun untuk tausiyah pagi itu, tetapi ilmu yang sudah pernah
dituliskan akan lebih lama tersimpan dimemori otak kita dibandingkan dengan
ilmu yang pernah kita dengarkan. Seperti kata seorang filosof dari China
Confusius, I hear and I forget, I see and I remember. I do and I understand (aku
dengar aku lupa, aku lihat aku ingat, aku lakukan aku paham dan mengerti).
Aku
ingat aku pernah menulis sesuatu belum lama ini, (pikirku waktu itu) yakni
artikel tentang hebatnya pengaruh pikiran kita terhadap karakter, yang waktu
itu kukirimkan di kolom remaja di salah satu majalah pendidikan. Terimakasih,
Alhamdulillah hobiku ada manfaatnya juga. Akhirnya itulah yang kusampaikan di
depan murid-muridku sebagai Pembina upacara. Isinya kalau dirangkum kurang
lebih intinya sebagai berikut,
Judul
artikelku adalah The Power of Thought (kekuatan pikiran). Isinya adalah tentang
sesuatu yang biasanya kita remehkan justru hal itulah yang bisa menjerumuskan
kita atau juga sebaliknya bisa mengantarkan kita menjadi pribadi yang lebih
baik dan lebih sukses bila kita menyadari
untuk tidak menyepelekan. Diantaranya adalah pikiran, masih sedikit yang
menyadari betapa dasyat pengaruh dari pemikiran yang menetap di otak kita itu. Artikel
tersebut dimulai dengan sebuah kisah yang diambilkan dari sebuah kisah chicken
soup for the soul.
Serombongan
katak berjalan-jalan dihutan, tiba-tiba dua ekor katak terjatuh kedalam lubang
yang teramat dalam. Katak-katak yang lain spontanitas mengerumuni lubang dan
meneriaki kedua katak tersebut. Lebih baik mereka berdua mati saja karena
lubang tersebut teramat dalam dan tidak mungkin bisa didaki. Katak yang satu
mulai berputus asa tatkala merasa sudah lelah mencoba akhirnya dia pun berhenti
mencoba dan berpasrah untuk mati. Akan tetapi katak yang satunya tanpa kenal
lelah mencoba-dan terus mencoba, dan tidak pernah berhenti tatkala satu dua
rintangan menghalang, semua diterjang tanpa mengenal putus harapan. Akhirnya
setelah sekian lama berpayah-payah melompat dan memanjat akhirnya katak itupun
berhasil naik kembali keatas. Dan disambut oleh teman-temanya yang kebingungan,
bagaimana kau bisa terus melakukannya padahal kami semua bilang itu tidak
mungkin? Ternyata katak tersebut mempunyai gangguan pendengaran, sehingga
teriakan teman-temannya yang melemahkan terdengar seperti sedang menyemangatinya.
Itulah yang dari awal tertanam di otak katak kedua ketika teman-temannya
berkomentar. Sementara katak satunya mati karena putus asa, dia berhasil
melewati hambatannya.
Sebuah
pelajaran berharga dari katak semoga kita mampu mengambil hikmahnya. Kemudian
artikel tersebut dikaitkan dengan kondisi terkini dari murid-muridku. Fenomena
yang terjadi di lingkungan sekolah akhir-akhir ini adalah begitu gampangnya
keluar kata-kata keluhan sebagai respon atas apapun yang oleh otak
diterjemahkan sebagai sebuah beban. Misalnya, tatkala ustadz/ustadzah
mengumumkan besok libur dua hari, ustadz/ustadzah memberikan tugas untuk
belajar di rumah. Respon yang pertama kali keluah adalah LLAAAAAAHHHHH… kompak
semua murid menjawab begitu.
Hati-hatilah
dengan pikiran, pikiran kita akan melahirkan ucapan dan ucapan kita menjadi
tindakan, tindakan-tindakan tersebut apabila konsisten dilakukan akan menjadi
sebuah karakter. Jadi pikiran negatif yang menganggap tugas rumah adalah sebuah
beban terbukti melahirkan ucapan keluhan sebagai respon, dari mengeluh ini
kemudian menimpulkan efek malas dan ogah-ogahan dalam mengerjakan tugas yang
diberikan. Dan kalau ini dibiasakan terus-menerus maka akan menjadi sebuah
karakter yang membahayakan.
Naudzubillahi
min dzalik, bahaya mengancam jiwa kita jika karakter semacam ini melekat dalam
diri kita, kita akan menganggap segala sesuatu yang diberikan kepada diri kita
dari sisi negatif, sehingga kita merasa berhak mengeluh atasnya. Sebagaimana
diterangkan dalam surat Al-Maarij ayat 19-21 yang artinya, “Sungguh, manusia
diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh
kesah. Dan apabila mendapat kebaikan dia jadi kikir.”
Lantas
bagaimanakah sikap yang terbaik yang kita lakukan. Kita urai benang kusut
permasalahan ini dari ujungnya, yakni semua berawal dari pikiran kita.
Alih-alih berpikiran bahwa pekerjaan rumah adalah sebuah beban, kita bisa
menanamkan pikiran positif seperti “Alhamdulillah dua hari besok mendapatkan
suasana belajar yang berbeda, biasanya di sekolah, besok-besok bisa di rumah”
atau “Alhamdulillah, ada tugas buat di rumah jadi punya alasan untuk diajari
papa dan mama” de el el. Bermula dari pikiran positif ini maka kata-kata yang
spontan terucap adalah kalimat sukur “Alhamdulillah” dah bukannya hanya ujungnya
saja “LAH”. Masih berusaha berkhuznudzon, kalimat “LAH” itu sebenarnya
Alhamdulillah hanya saja Alhamduli-nya tidak terdengar sehingga hanya LAH-nya
saja yang terdengar. Nah, dari ucapan yang positif ini maka akan lahir tindakan
yang positif pula, jadi semangat dalam mengerjakan tugas. Dan apabila hal ini
secara istiqomah bisa dipertahankan maka akan menjadi sebuah karakter yang luar
biasa. ALLOHUAKBAR!
Jadi
teringat salah satu tausiyah Aa Gym yang sering diulang-ulang dihadapan
murid-muridku. Tentang ilmunya poci, (wah mentang-mentang dari tegal analoginya
pakai poci ^_^’) bahwa poci itu hanya mengeluarkan apa yang ada didalamnya. Di
dalamnya susu, jika dituang akan keluar susu. Di dalamnya teh, akan keluar teh.
Di dalamnya madu, akan keluar madu. Didalamnya tuba, akan keluar tuba.
Didalamnya air comberan, akan keluar air comberan pula jika dituangkan. Jadi
hati-hatilah dengan apa yang disimpan dalam pikiran kita, itu akan keluar
menjadi perkataan, perbuatan dan mengkarakter.
Aku
serasa kembali ke momen itu, saat aku berdiri ditengah-tengah lapangan dengan
stand microphone, didepan seluruh murid-muridku. Serasa momen itu hadir kembali
secara nyata dihadapanku, aku masih ingat bagaimana reaksi murid-muridku waktu
itu. Reaksi yang muncul sebagai
umpanbalik atas sesuatu itu sangat wajar, malah harus ada reaksi untuk
membuktikan bahwa pesanku sampai pada murid-muridku. Respon positif atau pun
negatif tetap harus dihargai, yang penting adalah bagaimana kedepannya semua
bisa menjadi pribadi yang lebih baik.
Sebenarnya
kalau mau jujur sejujur-jujurnya, tausiyah yang kusampaikan di depan
murid-muridku itu adalah titik yang paling ideal. Tetapi setidaknya kalau sudah
paham dan ada motivasi untuk melaksanakkannya proses menuju ideal itu menjadi
niscaya. (Melirik jam) sudah waktunya istirahat sholat dan makan siang. (melirik
agenda) ada janji dengan walimurid yang mau mengambil raport bada dhuhur nanti.
(melirik kalender) besok tanggal merah, mertuaku mau berkunjung ke rumah,
enaknya dimasakin apa ya? ^_^’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment here