Cottage di puncak itu
bernuansa modern namun banyak ruang terbuka hijau didalamnya. Sudut-sudutnya
ditata sangat artistik, ditambah lagi konsep kebun binatang mini, dimana hewan
jinak seperti rusa, kelinci dan angsa dibiarkan bebas melintas di taman-taman.
Kolam ikan yang berada hampir disetiap barisan cottage menambah
asri suasana dengan gemericik suara airnya.
Bagi seorang penulis
situasi seperti di cottage itu sangat menginspirasi dan bagi
seorang fotografer sungguh obyek buruan yang berharga untuk diabadikan dalam
gambar. Oleh karenanya banyak yang sengaja mendatangi cottage ini
hanya untuk sekedar mencari inspirasi. Dan di cottage inilah
di sebuah pagi Nada seorang fotografer dan Tama seorang
penulis secara tidak sengaja bertemu disalah satu sudutnya.
Nada sedang menjepret
kumpulan rusa yang tengah merumput di padang terbuka hijau tatkala, sebuah
suara yang sangat dikenalnya dengan baik menyapanya.
“Pakai teknik apa nih
memotretnya?” sapa Tama.
Nada menoleh sebentar
dan menjawab asal “Teknik sipil, because I’m civilian”.
Mendengar jawaban asal
dari Nada, “Kamu masih emosi ya Nad?, kan aku dah minta maaf” kata Tama.
“Kalau ‘emosi’ itu
nama makanan yang lembut, manis, aneka rasa, dingin dan beku, ya, sekarang aku
sedang ingin sekali emosi…” Nada menoleh ke suatu arah, “Bang, es krim bang!”
didekatinya café cottage tak jauh dari tempatnya memotret,
seraya meminta dua buah es krim cone rasa coklat dan satu
lagi strawberry.
“Kamu mau ‘emosi’ juga
Tam?” tanya Nada sembari menyodorkan es krim rasa coklat ke tangan Tama yang
tengah duduk di kursi taman. Nada mengambil tempat disampingnya. Sementara es
krim strawberry sudah berkurang dua gigitan karena dimakannya.
Mau tak mau Tama
tersenyum, dengan cara Nada menjawab pertanyaannya. Alih-alih mengambil es krim
yang di sodorkan kepadanya, Tama malah mengambil es krim di tangan Nada yang
sudah hilang toping saus strawberry diatasnya
karena sudah dijilat Nada.
“Aku lebih suka yang
ini” cuek saja tama langsung memakan es krim strawberry yang
sudah dimakan Nada bagian atasnya.
“I knew, it’s mean
indirect kiss to you right? Just like drink from the same glass, I’d remember
that” respon Nada sedikit menggumam, namun dia biarkan saja apa yang
dilakukan Tama.
“Bahasa
Indonesia dong, biar aku tidak salah mengerti” Tama memandang Nada.
“Jangan
minta diterjemahkan, artinya aneh banget” sepertinya Nada asal menjawab lagi.
“Aneh
bagaimana?” Tama tambah penasaran.
“Artinya,
kamu ganteng banget, aneh kan? Pertama, aneh karena tidak ada hubungannya
dengan pembicaraan kita, kedua, aneh karena tidak sesuai dengan kenyataannya?”
Nada semakin asal menjawab.
Tama
sempat tertawa mendengar jawaban Nada “Sepertinya kamu memang masih marah
padaku” Tama mencoba berkesimpulan.
“Kalau
‘marah’ adalah nama hewan putih, berbulu, lucu, imut, suka meloncat, bermata
bening dan bertelinga panjang, ya, aku ingin memotret ‘marah’ untuk kuabadikan
dengan kameraku” jawab Nada sambil mengarahkan moncong kameranya kearah sekawan
kelinci yang bermunculan dari semak daun diseberang kolam ikan.
Tak
urung Tama kembali tertawa atas jawaban Nada, ringan namun dalam. “Aku tak suka
‘marah’ yang itu, kamu pasti tak percaya dulu waktu aku kecil aku pernah digigit
oleh ‘marah’ berbulu putih yang suka meloncat itu” Tama mengikuti gaya Nada.
“Hahaha…”
sekarang ganti Nada yang tertawa.
Setelah
menghabiskan es krim mereka berdua menyusuri, jalan setapak yang ada
di cottage tersebut, sambil sesekali Nada menjepretkan
kameranya ke beberapa arah. Tama menjajari langkah Nada. Mereka
berdua masih terlibat dalam pembicaraan, atau lebih tepatnya perdebatan.
“Apa
yang sedang kamu tulis?” tanya Nada.
“Sekarang
kamu perduli?” Tama berhenti sejenak, menoleh ke wanita disampingnya yang hanya
tersenyum tipis merespon pertanyaannya.
“Novel” lanjut Tama.
“Tentang
apa?” tanya Nada lagi.
“Biasa,
tidak pernah jauh-jauh dari romance”
jawab Tama.
“Huh,
aku selalu merasa aneh. Kamu begitu pintar menuliskan cinta dalam novelmu
seakan itu benar-benar nyata dan terjadi. Tapi aku selalu gagal paham menangkap
cintamu di dunia nyata” kata Nada.
“Jadi
itukah yang kau rasakan tentangku?” tanya Tama.
“Ya”
jawab Nada singkat.
“Maaf”
kata Tama.
“Ya”
jawab Nada masih singkat.
Beberapa
saat setelah itu keduanya berjalan beriringan dalam diam, hingga di sebuah
tikungan Nada menggamit lengan Tama.
“Tam,
bisa lebih sederhana gak dalam menguraikan sesuatu. Terkadang aku tidak terlalu
pintar mencerna maksudnya” kata Nada.
“Maksudmu?”
Tama tidak mengerti.
“Menurutku
kamu terlalu rumit untuk dimengerti. Dan sebenarnya aku sama sekali tidak
membutuhkan untuk bisa mengerti kamu, aku hanya ingin merasa nyaman berjalan
disisimu, itu saja gak pakai ribet” Jelas Nada.
“Jadi
jangan jelaskan apapun yang tidak bisa kucerna, karena aku tidak sepintar kamu.
Cukup biarkan aku mengerti kamu dengan caraku” Nada terdengar serius.
Tak
terasa sampailah mereka dideretan kamar cottage yang lokasinya
paling ujung.
“Itu
kamarku” tunjuk Tama.
“You’re
kidding me. Kamarku disebelahnya” kata Nada.
Mereka
berdua menuju kamar Tama, Tama memutar anak kunci membuka pintu kamar cottage yang
disewanya semalam. Pintu terbuka, ruangan didalamnya cukup lengkap ada tempat
tidur dobel, sofa dan meja, mini bar lengkap dengan lemari esnya, dan juga
kamar mandi. Tama membuka lemari es dan mengeluarkan dua botol jus jeruk dari
dalamnya. Tama juga mengambil roti isi yang ada diatas meja mini bar.
Diletakkan di meja sofa tempat Nada tengah duduk sambil membaca
lembaran-lembaran print naskah Novel Tama yang diketiknya semalam. Laptop dan
chargernya masih tergeletak diatas nakas sebelah tempat tidurnya.
“Jadi
bisa kita baikan lagi? Please? Aku tersiksa kalau tidak bisa
melihat senyummu dan mendengar ceritamu. Seperti ada yang diambil dari diriku,
tak lengkap lagi rasanya. Bahkan aku kehilangan ide untuk semua tulisanku” Tama
mencoba berbaikan.
“Loh
kita kan tidak sedang bertengkar?” jawab Nada.
“Terus
apa dong namanya? Perang dingin?”
“Gak
juga”
“Terus?”
“Gak
aja”
“Baiklah,
sepertinya kamu sedang tidak ingin membahasnya” kata Tama.
Nada
masih melanjutkan membaca-baca naskah Novel Tama, sambil memakan roti isi yang
tersaji di depannya.
Dan
Tama duduk di sofa seberang Nada, dia hanya diam saja sambil memandang Nada
tanpa berkedip, Tama memandang Nada penuh makna dan memperhatikan tiap gerak
dan ekspresi Nada. Lama tak terdengar suara apapun, Nada baru
menyadarinya.
“Ngapain
lihat-lihat? Naksir?” Nada ketus.
“Hahaha,
gak cuma naksir tapi cinta berat”
“Gombal”
Nada melempar bantal kursi kemuka Tama.
“Emang”
kata Tama
“Jadi
kita baikan” kata Tama lagi sambil menyodorkan jari kelingkingnya yang
melengkung mengharap Nada akan menyambutnya.
“Kan
sudah kubilang, kita tidak sedang bertengkar. Kita hanya butuh sedikit waktu
untuk menyingkir sebentar, dan intropeksi diri. Hubungan kita sudah benar
landasannya. Tuhan kita sudah merestuinya. Sehingga masalah apapun yang kita
alami dalam menjalaninya, penyelesaiannya dikembalikan lagi kepada-Nya, sesuai
kehendak-Nya, dan berdasarkan aturan-Nya. Termasuk permasalahan kemarin itu,
yang anehnya kita menyingkir di tempat yang sama, mana kamarnya sebelahan lagi,
sebuah kebetulan yang ditakdirkan. Tak ada yang perlu dimaafkan darimu. Aku
juga harus minta maaf kepadamu kalau ada yang tidak berkenan dihatimu, suamiku”
jelas Nada memperjelas permasalahan.
“Bagaimanapun
aku laki-laki, aku pemimpinnya. Pemimpinlah yang disalahkan apabila ada yang
salah dengan bahtera yang dipimpinnya. Aku tetap minta maaf” kata Tama.
Nada
beranjak dari tempat duduknya dan membuka jilbabnya lantas menggantungnya
di kastok dekat kamar mandi, kemudian diambilnya botol jus jeruk yang
disuguhkan, Tama, suaminya tadi, Nada meneguknya sampai habis.
“Judul
novelmu apa Tam?”
“Strawberry
on The Shortcake” jawab Tama
“Save
the best for the last philosophy ya?”
“yup”
“Kenapa
gak pakai bahasa Indonesia saja, misalnya ‘Kusimpan Pupuk Terbaik Untuk Bunga
Terindah’?”
“Terlalu
panjang”
“Atau, stroberi diatas kue?”
“oke, dipertimbangkan”
“It’s
about me?”’
Tama
tersenyum dan menaikkan kedua bahunya. Dia menyerahkan lembar naskah berisi
sebuah notes -tidak semua yang kutulis adalah aku, dan
tidak semua yang kau baca adalah kamu-.
Nada
tertawa, hari ini ada satu lagi yang bisa dia mengerti dari Tama suami
tercintanya. Pelan-pelan akan kucoba mengerti semua tentangmu Tam, pelan tapi
pasti tujuannya. Dan disetiap hal yang kutemukan dalam mengerti tentang kamu,
apapun itu, aku selalu merasa semakin bahagia. Batin nada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment here