*) Diterbitkan di Majalah Adzkia Indonesia Edisi 90 September 2017
Pertama
harus kita sadari bersama bahwa anak-anak kita bukan orang dewasa dalam bentuk
mini, jadi jangan pernah samakan mereka dengan kita, mereka tidak punya cara
pikir yang sama dengan orang dewasa, anak-anak memiliki dunia dan pemikirannya
sendiri. Berangkat dari kesadaran inilah maka tips parenting ini bisa
dikembangkan lebih jauh lagi. Berikutnya adalah memahami akan pentingnya
sosialisasi bagi anak-anak kita, mengapa sosialisasi itu penting bagi anak-anak
kita. Jawaban dari pertanyaan inilah yang akan membuat kita sebagai orang tua,
mau tidak mau harus memberikan perhatian lebih untuk mengajari anak-anak kita
tentang keterampilan bersosialisasi dengan lingkungannya. Sosialisasi menjadi
penting bagi anak karena yang menyumbangkan porsi paling besar dalam kesuksesan
seseorang dalam kehidupannya adalah keterampilan sosialisasi dan kemampuan
mengelola emosi bukan kemampuan akademisnya.
Dalam
kerangka berpikir inilah maka muncul tips-tips dalam membekali anak-anak kita
keterampilan bersosialisasi. Bagaimana sikap terbaik kita sebagai orang tua
ketika menghadapi anak-anak dengan berbagai persoalannya. Satu contoh kasus
yang dilontarkan oleh salah satu kakak dari siswa mengenai adiknya yang sangat
cerewet di rumah akan tetapi ketika sudah diluar rumah menjadi sangat pendiam
dan introvert. Mungkin kita pernah
menemui kasus yang sama dengan siswa yang lainnya juga. Bisa jadi perbedaan
sikap antara ketika di rumah dan di luar rumah ini dikarenakan anak merasa
tidak percaya atau merasa tidak aman ketika berada di luar rumah maka yang
sebaiknya orang tua atau keluarga lakukan adalah melatih anak untuk berani dan
mandiri.
Salah
satu cara melatih keberanian dan kemandirian anak adalah sedari kecil biasakan
anak untuk membantu pekerjaan rumah, bukan sebaliknya justru malah dilarang.
Biasanya sebagian dari kita cenderung untuk melarang ketika si kecil dengan
rasa ingin tahu, penasaran, dan ingin mencoba yang tinggi mulai pegang sapu,
mendekati wastafel, menata-nata meja makan dan lain sebagainya, karena khawatir
justru akan membuat pekerjaan jadi lebih berantakan. Namun akibatnya karena
dari kecil sudah sering tidak dibolehkan membantu pekerjaan, maka ketika besar
orang tua meminta anak untuk membatu pekerjaan rumah, anak akan cenderung
menolak. Jadi kuncinya ada di pola pembiasaan.
Implikasi lainnya adalah ketika di rumah rasa ingin tahu, rasa penasaran
dan rasa ingin mencoba yang secara naluriah mulai muncul dianak usia tertentu
tidak dapat dipenuhi di dalam rumah maka secara otomatis anak akan mencarinya
di luar rumah, mencari tahu dari teman-temannya yang juga sama-sama tidak tahu.
Kuncinya
di pola pembiasaan yang harus kita praktikan kepada anak-anak untuk
mengembangkan ketrerampilan sosialnya. Contoh konkretnya adalah respon kita
ketika anak kita mengacaukan sesuatu, memecahkan vas misalnya. Kira-kira respon
apa yang akan dilakukan oleh orang tua? Apakah A. memarahi anak, B. “Ya sudah
deh, lain kali hati-hati ya”, C. Menanyakan Kenapa?, D. Menanyakan apa yang
terjadi?. Mari kita bahas satu persatu, memarahi anak jelas tidak ada gunanya,
tidak akan mengubah sedikitpun apa yang sudah terjadi, bahkan bisa melukai jiwa
anak. Bersikap permisif, “ya sudahlah, lain kali hati-hati ya”, juga tidak akan
membuat anak akan berhati-hati ke depannya. Lantas respon apa yang sebaiknya kita
berikan? Yang harus kita lakukan adalah menanyakan kepada anak apa yang
terjadi? Tadi ceritanya bagaimana? Jangan tanyakan “Kenapa?” karena kalau kita
terbiasa menanyakan anak dengan “Kenapa?” maka akan membuat anak-anak kita
mencari-cari alasan untuk pembelaan diri dan pembenaran dirinya, pertanyaan ini
membentuk karakter anak yang berapologi.
Berbeda
jika kita menanyakan pertanyaan “Apa yang terjadi?” maka anak akan belajar
untuk mengambil hikmah, apa yang bisa dipelajari dari kejadian tersebut dan kedepannya
apa yang sebaiknya dilakukan. Misalnya, memecahkan vasnya karena sedang memakai
baju sambil berjalan. Nasihat “lain kali hati-hati ya” bisa diganti dengan
“Berjanjilah pada dirimu sendiri bahwa kedepan tidak diulangi lagi memakai baju
sambil berjalan”. Kesadaran dan komitmen anak lah yang sedang dibangun disini.
Kesadaran dan komitmen anak bisa dilatih dengan cara sering menanyakan pendapat
anak, missal dalam kasus tadi, menurutmu bagaimana memakai baju sambil
berjalan? Terus sebaiknya menurutmu kedepan harus bagaimana supaya tidak
terulang lagi? biarkan anak melogiskan sendiri nasihat yang kita sampaikan.
Jadi
kembali lagi ke poin awal, selalulah menggunakan sudut pandang anak dalam
menyelesaikan setiap permasalahan anak. Selanjutnya kita sebagai orang tua juga
harus menyadari bahwa orang tua menjadi model bagaimana anak-anak kita
bersosialisasi, contoh yang diberikan orang tualah yang membentuk keterampilan
sosialisasi pada anak. Salah satu kiatnya adalah dengan sering-sering mengajak
anak di acara-acara umum, seperti arisan, silaturakhim, family gathering kantor dan lain sebagainya. Jangan pernah
khawatirkan anak akan membuat kacau atau melakukan sesuatu yang memalukan
orangtua. Bisa kita jelaskan dan brifing
terlebih dahulu anak-anak tentang acara yang akan dikunjungi, dibuat
kesepakatan dengan anak, dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
jawaban mereka melogiskan nasihat kita.
Sebenarnya
cara kita memperlakukan anak sangat terkait dengan pola asuh, dimana pola asuh
secara umum dibagi kedalam tiga, yakni 1) Permisif, yaitu pola asuh yang
cenderung membiarkan, membolehkan semuanya, 2) Otoriter, yaitu pola asuh yang
semua-semua serba dilarang, banyak aturan tanpa pelogisan, 3) Demokratis, yaitu
pola asuh yang melibatkan anak, kita bicarakan terlebih dahulu dengan anak. Dan
pola asuh kita sebaiknya menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan anak pada saat
dimaksud.
Kiat
berikutnya untuk melatih keterampilan anak adalah dengan permainan group.
Setiap generasi mempunyai ciri khas permainannya sendiri, generasi kita dulu punya permainan-permainan
khusus yang mencirikan zamannya. Namun permainan group ini masih relevan
dimainkan dari generasi ke generasi. Dalam permainan grup ini anak bermain
peran ada yang berperan sebagai polisi dan ada yang berperan sebagai penjahat.
Dalam permainan ini anak dibuat mengerti dan memahai bahwa polisi tidak boleh
kalah dari penjahat, di kehidupan nyata kebaikan harus selalu mengalahkan
kejahatan, kemudian penjahat harus menerima hukuman kejahatannya, dikehidupan nyata
jika ada yang berbuat salah maka akan ada konsekuensinya.
Yang
tak kalah pentingnya adalah perhatian orang tua untuk memastikan setiap anak
mempunyai kemampuan untuk diterima dengan baik oleh teman-temannya, karena
kalau kemampuan ini tidak dimiliki oleh anak maka ia tidak mempunyai teman. Dan
supaya dia mempunyai teman maka anak akan “membeli” teman, kalau anak tersebut
memiliki materi maka ia akan “membeli” temannya dengan materi, namun jika tidak
memiliki materi maka si anak ini akan bersedia melakukan apa saja untuk biasa
masuk ke pertemanan agar ia mendapatkan teman. Inilah cikal bakal anak-anak
kita bergabung dalam “genk”, dia akan melakukan apa saja yang disyaratkan untuk
masuk ke dalam “genk” tersebut.
Sebagai
orang tua siswa baru yang baru masuk SD kita juga harus “tega” dengan anak,
untuk hal-hal yang prinsip, seperti ketika anak mogok tidak mau sekolah karena
alasan tertentu, maka sikap kita tetap “memaksa” anak kita untuk berangkat
sekolah, dan percaya sepenuhnya kepada sekolah ketika mengantar dan
meninggalkan anak, sekolah punya cara untuk membentuk sosialisasi siswa. Tentu
dengan tetap adanya dukungan dan pendampingan dari oarng tua di luar sekolah,
ketika anak kita ada masalah maka kita ajari dia untuk menyelesaikan
masalahnya, bukan lari darinya. Misal, anak ada masalah dengan teman, di pukul
teman atau di mintai uangnya oleh teman. Maka ajari cara untuk menyelesaikan
masalahnya.
Sedikit
berkilas balik kebelakang dizaman kita sekolah dulu, kalau ada anak yang
mengadu ke orang tua atau guru maka kita akan diolok-olok teman-teman sebagai
tukang ngadu akibatnya kita dijauhi teman-teman karenan dianggap pengadu. Namun
seiring perubahan zaman budaya itu sudah tidak ada lagi. menceritakan pada guru
atau orang tua apabila ada masalah dengan teman bukan hal yang menakutkan lagi
untuk anak sekarang, maka buatkah anak-anak kita nyaman untuk menceritakan
setiap masalahnya. Untuk contoh kasus permasalahan diatas, anak kita bisa kita
ajari cara menjawab temannya yang suka meminta-minta uang anak kita, misalnya
begini “kamu tidak aku kasih uangnya tapi yuk kita belajar bersama, kamu aku
ajari matematika” misalnya.
Dan
untuk anak-anak yang sulit menceritakan masalahnya dengan kata-kata, media
tulis bisa dijadikan sarananya. Minta anak untuk menuliskan apa yang ia
rasakan. Jadikan kita tempat yang nyaman untuk anak menumpahkan dan
menceritakan semua unek-uneknya. Tetap tegas dan konsisten dengan hal-hal
prinsipil, karena sekali saja kita bersikap permisif maka kita akan kehilangan
kontrol atas anak kita.
Ingat!
Memarahi anak tidak akan membuat anak menurut, semakit sering dimarahi justru
akan membuat anak semakin kebal dan membangkang. Bahkan kondisi ekstrim bisa
menumbuhkan dendam, kondisi psikologis yang ekstrim pernah terjadi seorang anak
yang membantai ibu, bapak dan kakaknya, karena seharian dimarah-marahi. Untuk
menghindari hal ini terjadi kalau sudah terlanjur terjadi kita menyelesaikan
permasalahan dengan marah maka tidak ada salahnya kita minta maaf. Dan lihat
betapa ampuhnya kata maaf ini.
Kesimpulannya
secara keseluruhan, selalu dampingi anak di setiap masalahnya, pahamkan dan
ajari anak berhadapan dengan berbagai jenis orang yang berbeda-beda, tanamkan
keterampilan dasar dan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi. (Imalia Din
Indriasih)
Artikel Terkait:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Please leave your comment here