Rabu, 10 April 2013

HANYA BERHARAP PADA DOA



Deg-degan! Begitulah yang kurasakan tatkala memasuki ruangan berukuran tujuh kali tujuh meter dengan tulisan Ruang VII tertempel di pintu masuknya. Bel yang berbunyi menandakan kami semua harus memulai perang, ya perang! Hari ini kami semua dipersiapkan untuk berperang.
Teringat hari-hari sebelumnya, selama kurang lebih sembilan bulan terakhir, aku dan teman-temanku dipersiapkan untuk perang ini. Dilatih, digembleng, digodok di kawah candra dimuka, setiap hari hanya berlatih dan berlatih, seakan duapuluh empat jam sehari tidak cukup untuk melaksanakan semua aktifitas kami.
Seandainya egoismeku boleh berpendapat, tentu aku akan berontak melawan. Ini sungguh tidak adil buatku, aku hanyalah manusia biasa yang masih mempunyai keinginan, aku hanya anak-anak yang baru menginjak umur belasan yang masih ingin bebas bermain, bercanda, berhibur dan mendapatkan kesenanganku sendiri.
Tetapi jauh di dalam lubuk hatiku aku mengakui dan menyadari, bahwasannya perang ini adalah salah satu tahap dari kehidupanku yang mau tak mau harus kulewati, bukan hanya sekedar untuk kulalui tapi untuk ku takluki dengan kemenangan yang cemerlang. Agar kelak aku tak malu menatap masa depan.
Beberapa hari yang lalu mataku tertumbuk pada sebuah tulisan yang langsung mendapatkan perhatian penuh dariku. Tulisan di dinding sekolahku itu, membuatku tersadar bahwa aku tidak sendiri, ada jutaan anak di luar sana yang mengalami hal yang serupa denganku. Tulisan di majalah dinding depan kelasku  itu adalah tulisan Anis Faridah, kakak kelasku di SMAIT Al Irsyad yang sudah terlebih dahulu menghadapi perangnya. Tulisan di dinding itu adalah sebuah puisi dengan judul berharap pada doa.

Berharap pada Doa

Satu jam
nadiku terpaku disini
mengaduh pelan
pada sajak-sajak buram

Apa dayaku
kepalang bimbang
menyesap jawaban
akan barisan di sudut tirai
yang tengah menatap tajam
menentang sorot mungilku

Aku pasrah
dalam dentuman detik
menggebu
seolah menyeret paksa
pelipis sendi
yang mengernyit pahit

Kini
perisaiku tinggal sebelah
kusembunyikan di bawah doa
dan ku harap
doaku kan mampu
menopang sejengkal raga

Tepat! Setelah segala ikhtiar yang kalau secara ekstrem boleh kudeskripsikan sebagai mati-matian. Sebenarnya aku punya sebuah harapan besar yang tersimpan dibawah detik-detik waktu yang terus bergulir. Selain dari lembar-lembar latihan, pembahasan soal dan jam-jam tambahan pelajaran.  Yakni doa kami yang diselip di setiap sholat lima waktu, di setiap sepuluh rokaat yang menyertainya, di dua rokaat setelah fajar, di sujud-sujud malam kami, di lembar-lembar halaman al Quran yang kami baca, kami  dipaksa, ditargetkan, dipantau, terus-menerus diingatkan, dicatat dan dilaporkan setiap harinya di lembar muhasabah. Ya, aku akui kalau tidak dipaksa rasanya sulit diri ini untuk melaksanakan semua kebaikan itu. Dan juga aku masih punya harapan dari kekuatan doa orang-orang disekitar kami, ibuku, orang tuaku, guru-guruku, saudara-saudaraku, teman-temanku dan banyak lagi.
Dan hari ini adalah hari yang sudah ditentukan. Aku bertemu dengan salah satu pertempuran dari perang yang harus kujalani. Dengan hati yang sangat berdebar, aku melangkah masuk ke ruang ujianku. Mencoba menyungging senyum, meski beban di jiwa begitu besar memberati langkah diri. Seribu bahkan sejuta “jangan-jangan” berkelebat menggoda diri. Dua orang pengawas dari sekolah lain menyambut kami dengan senyuman seakan turut mendoakan langkah kami. Tapi adanya mereka malah semakin melengkapi ketegangan suasana.
Ketika lembar-lembar itu mulai dibagikan ciut rasanya nyali ini, akankan penaku bisa memilih pilihan yang benar dan tepat dari semua persoalan yang harus kuselesaikan. Jika saja pena ini bergerak hanya berdasarkan kehendakku semata, bisa kupastikan aku tak akan pernah berhasil melewatinya. Memang demikianlah hukum alam, wilayah kita hanya berusaha dengan usaha yang sebaik-baiknya adapun wilayah hasil sama sekali bukan kehendak kita yang mengendalikannya. Maka yang terbaik adalah menyerahkan pergerakan pena-pena kita pada yang Maha Segalanya.
Dan detik-detik pun berlalu tidak akan pernah terhenti kecuali dihentikan oleh sang pemilik waktu, di antara detik-detik ini aku terpaku disini menghadapi perangku sendiri, meski aku tidak sendiri. Pada akhirnya aku tersadar bahwa perangku yang sesungguhnya adalah melawan diri sendiri. Aku murid kelas 6 SD Al Irsyad Al Islamiyyah 01 Purwokerto yang akan menghadapi ujian sekolah dan ujian nasional. Setelah semua yang aku dan orang-orang sekitarku usahakan. Aku hanya bisa berharap pada doa, hanya berharap pada doa…

Baca juga Cerpen lainnya:
Say it please...
Miskomunikasi                           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Please leave your comment here

Translate